Pelarangan Buku Sepihak Menghalangi Gerakan Literasi
›
Pelarangan Buku Sepihak...
Iklan
Pelarangan Buku Sepihak Menghalangi Gerakan Literasi
Kebebasan akademik yang dituangkan dalam buku memiliki aturan jika warga tak nyaman dengan konten buku tersebut. Baik aparat maupun masyarakat hendaknya tidak main hakim sendiri dengan melakukan penyitaan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebebasan akademik yang dituangkan dalam buku memiliki aturan jika warga tak nyaman dengan konten buku tersebut. Baik aparat maupun masyarakat hendaknya tidak main hakim sendiri dengan melakukan penyitaan. Budaya literasi dan kritik membangun harus diperkuat untuk bisa menghadapi berbagai narasi secara ilmiah.
”Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) memiliki kode etik untuk tidak melanggar tata tertib umum sekaligus mendukung kebebasan akademik. Sebagai anggota Asosiasi Penerbit Internasional, Ikapi memercayai kebebasan dalam menerbitkan buku,” kata Ketua Ikapi Rosidayati Rozalina di Jakarta, Rabu (7/8/2019).
Ada beragam pandangan terkait tata tertib, misalnya dari kalangan akademik, aparat militer, dan keagamaan. Meski demikian, ada prosedur yang tak bisa dilanggar, yaitu larangan main hakim sendiri, seperti merazia dan menyita buku.
”Apabila warga menemukan buku yang membuat mereka tidak nyaman, silakan dilaporkan kepada Ikapi. Bisa juga kepada kejaksaan ataupun polisi,” kata Rosidayati.
Selanjutnya, penyelidikan terbuka dilakukan dengan melibatkan berbagai pakar terkait konten yang dipermasalahkan guna memastikan buku itu merupakan propaganda atau tulisan ilmiah yang kritis. Jika buku itu terbukti sebagai propaganda, pengadilan akan memutuskan buku perlu ditarik dari peredaran.
”Apabila terbukti bukunya bersifat ilmiah, pihak yang tak suka dengan buku itu bisa menulis argumen tandingan agar dibaca masyarakat. Demikian cara membangun debat ilmiah dalam ranah perbukuan,” lanjutnya.
Apabila terbukti bukunya bersifat ilmiah, pihak yang tak suka dengan buku itu bisa menulis argumen tandingan agar dibaca masyarakat. Demikian cara membangun debat ilmiah dalam ranah perbukuan.
Sementara Ketua Komite Buku Nasional (KBN) Laura Bangun Prinsloo mengungkapkan, setidaknya ada empat peristiwa berupa razia, penyitaan, ataupun pemaksaan agar toko-toko buku tidak menjual buku-buku bertema komunisme. Peristiwa itu terjadi di Makassar pada pekan lalu, Padang pada Januari 2019, Probolinggo pada bulan Juli, dan Kediri pada Desember 2018. Keseluruhannya tanpa penjelasan ilmiah tentang aspek yang dinilai membahayakan masyarakat.
Padahal, terkait isu pembahasan komunisme, Mahkamah Konstitusi pada 2010 mencabut Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Intinya, pelarangan buku harus melalui proses peradilan dengan pelaporan dan bukti-bukti kuat.
Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat melalui rilis juga menyatakan keberatan dengan adanya pelarangan sepihak. Pelarangan buku adalah bentuk represi dari gerakan literasi masyarakat dan hak mereka untuk mendapat pengetahuan dan pendidikan.
Paradoks
Cendekiawan Muslim, Komaruddin Hidayat, memaparkan, razia, pemaksaan larangan penjualan, hingga bentuk ekstremnya penyitaan buku merupakan perilaku yang dulu diterapkan oleh pemerintahan otoriter. Harapannya, setelah reformasi, masyarakat menghargai adanya kebebasan berpendapat.
”Namun, kita kerap lupa bahwa kebebasan adalah paradoks yang melahirkan dua kubu, yaitu yang liberal dan bebas berekspresi. Di seberangnya ada kubu konservatif, baik dari segi agama, primordialisme, maupun ideologi kebangsaan,” ucapnya.
Ia mengkritisi bahwa di satu sisi ada anggota masyarakat yang melarang pembahasan tema-tema kiri, salah satunya adalah komunisme, meskipun dalam ranah ilmiah. Namun, pada saat bersamaan, mereka membiarkan berbagai ceramah publik yang terang-terangan berupa propaganda untuk melakukan segregasi kelompok etnis dan agama di masyarakat.
Komaruddin mengingatkan, persepsi tentang pemikiran yang dianggap sensitif bisa berubah sewaktu-waktu tergantung persepsi yang dominan di masyarakat. Saat ini, selain komunisme, berbagai topik, seperti pembahasan aliran agama dan kepercayaan berbeda dari arus utama ataupun diskursus seksualitas dan jender, dianggap sensitif oleh masyarakat.
Namun, tidak tertutup kemungkinan di masa depan topik yang sekarang dianggap normal akan menjadi sensitif. Pelarangan buku tanpa landasan ilmiah akan merugikan semua pihak. ”Justru mimbar berbicara yang semestinya diatur karena bisa berupa ujaran kebencian. Buku adalah produk pikiran yang harus dibaca, dicerna, dan didebatkan dengan kaidah akademik universal,” ujarnya.
Upaya membangun sikap ilmiah mesti dimulai dari pendidikan usia dini sehingga mengembangkan pemikiran kritis dan tak mudah terpancing emosi menghadapi hal yang berseberangan dengan cara pandang pribadi. Itu akan membuat masyarakat Indonesia, apa pun agamanya, percaya diri dan tidak takut mempelajari hal-hal baru karena berkemampuan memahami konteks.