Program Inovasi Desa dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dinilai inovatif dalam tiga tahun terakhir. Untuk mempertahankannya dan mendorong percepatan pembangunan, iklim inovasi desa itu harus tetap dijaga.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Program Inovasi Desa dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi dinilai inovatif dalam tiga tahun terakhir. Untuk mempertahankannya dan mendorong percepatan pembangunan, iklim inovasi desa itu harus tetap dijaga.
Evaluasi tiga tahun pelaksanaan Program Inovasi Desa (PID) Kemendes PDTT tersebut disampaikan Deputi Tim Leader Peningkatan Kapasitas Konsultan Nasional PID di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Lendy Wahyu Wibowo, Jumat (8/8/2019), dalam Bursa Inovasi Desa 2019 di Pujon, Malang, Jawa Timur. Bursa inovasi ini diikuti perwakilan pemerintah desa.
”PID sudah berjalan tiga tahun. Kita harus mulai bicara kelembagaan sistem inovasi desa ini. Praktik-praktik seperti tim pelaksana inovasi desa (TPID) harus dilembagakan. Akan lebih baik kalau daerah juga mengambil peran dalam hal itu. Hal ini agar iklim inovasi desa yang sudah mulai terbangun akan tetap terjaga,” kata Lendy.
Dalam survei internal Tim Leader Peningkatan Kapasitas Konsultan Nasional PID, Lendy mengatakan, PID secara nasional bisa memengaruhi 30 persen perencanaan APBDes menjadi lebih inovatif. Desa menganggarkan dana khusus untuk mereplikasi inovasi.
Dalam setiap bursa inovasi desa, peserta didorong menandatangani kartu komitmen untuk mereplikasi inovasi dari desa lain yang dianggap sesuai dengan desa mereka. Sayangnya, komitmen mereplikasi itu tidak terkawal hingga akhir.
”Hal itu bisa jadi karena masyarakat belum paham pentingnya inovasi tersebut bagi desanya sehingga meski kepala desanya berkomitmen mereplikasi inovasi, warganya menolak. Kalau sudah begitu, bisa jadi komitmen replikasi yang awalnya dibuat akhirnya batal dilakukan,” kata Lendy.
Pengawalan
Seharusnya, menurut Lendy, ada pengawalan dan pendampingan khusus terkait inovasi desa. ”Setelah bursa, sebaiknya ada pengawalan dan pendampingan, baik secara teknis maupun anggaran, sehingga inovasi itu bisa benar-benar direplikasi oleh desa dan tidak gagal di tengah jalan,” katanya.
Untuk itu, menurut Lendy, dibutuhkan tenaga pendampingan khusus dalam hal inovasi. Selama ini, penggalian inovasi desa dilakukan oleh TPID di kecamatan. ”Namun, TPID adalah gugus tugas di kecamatan, di mana tidak di-setting untuk bertahan selamanya sehingga, jika dilembagakan, butuh ditata ulang. Butuh tenaga-tenaga profesional yang mampu menjaga habituasi iklim inovasi di desa,” kata Lendy.
Pemerintah daerah, menurut Lendy, seharusnya bisa berperan mendukung iklim inovasi desa dalam hal regulasi. Terjaganya iklim inovasi di desa, menurut Lendy, akan mendorong percepatan pembangunan desa.
”Misalnya, daerah membentuk peraturan bupati soal pelestarian program inovasi desa dengan pembiayaan daerah,” katanya.
Faizal, tenaga ahli teknologi tepat guna Kemendes PDTT di Kabupaten Malang, mengatakan, Bursa Inovasi Desa 2019 dibuat dengan sistem kluster. ”Dengan sistem pengelompokan ini, diharapkan proses konsultasi setiap desa akan semakin efektif. Peserta benar-benar bisa belajar tentang inovasi di desa lain,” katanya.
Dengan sistem pengelompokan ini, diharapkan proses konsultasi setiap desa akan semakin efektif. Peserta benar-benar bisa belajar tentang inovasi di desa lain
Ada empat kluster penyelenggaraan Bursa Inovasi Desa 2019 di Kabupaten Malang. Pada kluster pertama, di Kecamatan Pujon, saat itu diikuti oleh 84 desa. ”Dari seluruh peserta, setidaknya sekitar 40 kartu komitmen telah dibuat. Semoga saja komitmen replikasi itu akan dilanjutkan dan disinkronkan dengan perencanaan pembangunan desa,” kata Faizal.