Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai kebijakan utama Presiden Joko Widodo di bidang infrastruktur membuka ruang munculnya pelanggaran HAM baru oleh pemerintah. Ketiadaan langkah nyata pemerintah untuk pemenuham HAM mengakibatkan meningkatnya intoleransi di masyarakat.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai kebijakan utama Presiden Joko Widodo di bidang infrastruktur membuka ruang munculnya pelanggaran HAM baru oleh pemerintah. Ketiadaan langkah nyata pemerintah untuk pemenuham HAM mengakibatkan meningkatnya intoleransi di masyarakat.
Dalam penyampaian Laporan Tahunan Komnas HAM 2018, komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, menuturkan, prioritas pemerintah Presiden Jokowi dalam pembangunan infrastruktur mengakibatkan terabaikannya hak masyarakat yang berhubungan dengan sengketa lahan/tanah atau konflik agraria. Laporan yang diterima Komnas HAM dari masyarakat banyak berkaitan dengan proyek-proyek besar.
Selama 2018, Komnas HAM menerima aduan masyarakat sebanyak 1.021 laporan terkait korporasi. Jumlah paling banyak dari laporan itu adalah 42 laporan berkaitan dengan sengketa lahan. Kemudian, pemerintah daerah juga termasuk dalam institusi paling banyak diadukan dengan 682 laporan. Dari jumlah itu, sebanyak 19 laporan mengenai sengketa lahan dan 16 laporan terkait penertiban atau penggusuran.
”Kami mengharapkan segenap upaya pemerintah dalam pembangunan tetap menjadikan HAM sebagai acuan utamanya. Sebab, tidak bernilai banyak kinerja pemerintah apabila menimbulkan masalah HAM baru,” kata Amiruddin, Rabu (7/8/2019), di kantor Komnas HAM, Jakarta.
Dalam kesempatan itu hadir Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dan enam komisioner Komnas HAM. Mereka adalah Amiruddin, Beka Ulung Hapsara, Sandrayati Moniaga, Hairansyah, Munafrizal Manan, dan Choirul Anam.
Masalah sosial
Kurang diperhatikannya permasalahan HAM, menurut Beka, mengakibatkan permasalahan sosial di akar rumput. Misalnya, semakin menguatnya politik identitas yang diawali pada Pilkada DKI Jakarta 2017 dan terus berlanjut pada Pemilu 2019.
Sentimen penguatan politik identitas ditunjukkan pula dengan kehadiran kebijakan publik dari pemerintah daerah dan instruksi aparat keamanan yang muncul akibat desakan massa. Di sisi lain, Beka menuturkan, intoleransi juga semakin menguat dengan kembali mencuatnya wacana mayoritas dan minoritas yang sebenarnya tidak ada dalam konstitusi Indonesia.
”Aktor intoleransi justru mengalami bergeseran. Dulu dilakukan oleh aktor non-state, selama 2018 banyak dilakukan oleh negara, terutama pemerintah daerah, melalui kebijakan diskriminatif, seperti peraturan daerah dan instruksi kepala daerah,” ucap Beka.
Anam mengingatkan, untuk memperbaiki situasi pemenuhan HAM itu, Presiden Jokowi harus menjadi catatan Komnas HAM sebagai salah satu basis untuk menyusun kabinet di periode kedua pemerintahannya. Sebab, temuan dan hasil analisis Komnas HAM itu, menurut Anam, merupakan cerminan kondisi, realitas, dan ekspektasi publik yang besar terhadap pemerintah untuk memperhatikan penegakan HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ia menilai, kesungguhan Presiden Jokowi untuk memperbaiki pemenuhan HAM dapat ditunjukkan dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus mendatang, pada sidang tahunan MPR.
”Presiden telah menyatakan bahwa beliau tidak memiliki beban di periode keduanya. Maka, kami menilai itu sebagai momen tepat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Presiden memiliki kewenangan dan legitimasi politik untuk memikul tanggung jawab menyelesaikan pelanggaran HAM berat,” ujar Anam.
Dalam kesempatan itu, mantan Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, Makarim Wibisono, menyatakan, Indonesia telah menjalani proses demokratisasi yang cukup lama dalam dua dekade terakhir, tetapi muncul gejala peningkatan penggunaan kekerasan dalam proses demokratisasi. Oleh karena itu, ia berharap Komnas HAM dapat mencegah praktik-praktik kekerasan dan pemaksaan yang dilakukan sejumlah pihak dengan dalih demokrasi.