Situasi di Kashmir benar-benar mengkhawatirkan. Pengubahan status, dari negara bagian menjadi wilayah persatuan, menyebabkan Kashmir makin tidak menentu.
Ketidakpastian situasi di Kashmir, wilayah yang diklaim dan dibagi oleh India dan Pakistan, kembali muncul awal pekan ini saat Perdana Menteri India Narendra Modi mengeluarkan dekrit mengenai status Jammu dan Kashmir. Wilayah ini berbatasan langsung dengan Pakistan dan China, dua negara yang memiliki klaim atas—atau sebagian—wilayah itu. Dengan dekrit Modi tersebut, Jammu dan Kashmir tidak lagi berstatus negara bagian, melainkan berstatus wilayah persatuan yang akan dikendalikan oleh pemerintah pusat di New Delhi.
Dekrit Modi dikuatkan oleh persetujuan Majelis Tinggi dan Majelis Rendah dalam sidang di parlemen India secara berurutan, Senin dan Selasa lalu. Pengubahan status Jammu dan Kashmir tersebut diikuti dengan pengerahan puluhan ribu personel keamanan tambahan ke wilayah itu. Jam malam diberlakukan, sebagian besar saluran komunikasi—termasuk jaringan internet—dimatikan, siaran televisi dihentikan, dan jalur-jalur darat diblokir. Situasinya dilaporkan mencekam.
Kantor berita Reuters memberitakan, polisi berpatroli dan warga diminta tetap tinggal di dalam rumah. Ibu kota Srinagar terlihat bak kota hantu. Jalan-jalan sepi, tak ada toko buka. Warga Jammu dan Kashmir tak ubahnya diisolasi.
Pengubahan status wilayah itu berdampak sangat drastis dalam pengelolaan Jammu dan Kashmir. Otonomi yang dinikmati wilayah itu selama bertahun-tahun secara umum lenyap, digantikan dengan pengelolaan oleh pemerintah pusat di New Delhi. Jammu dan Kashmir tak lagi bisa mengibarkan bendera sendiri, digantikan oleh bendera nasional India.
Yang paling dikhawatirkan warga Jammu dan Kashmir adalah penghapusan Pasal 370 Konstitusi India. Dengan penghapusan itu, warga India dari luar wilayah dapat membeli properti dan melamar pekerjaan di pemerintahan setempat. Hal ini dikhawatirkan bisa mengubah postur demografis dan budaya di wilayah yang mayoritas Muslim itu.
Pemerintahan Modi yang berhaluan nasionalis beralasan, perubahan status Jammu dan Kashmir didorong perkembangan di wilayah itu, lima tahun terakhir. Februari lalu, bom bunuh diri di dekat Srinagar menewaskan 41 orang paramiliter India. Insiden itu berbuntut dengan saling gempur antara India dan Pakistan dengan jet-jet tempur masing-masing.
Kini, kekhawatiran bakal muncul kembali kekerasan—bisa jadi dalam skala yang lebih berbahaya—membayang di depan mata. Meski sengketa di sebagian wilayah Kashmir melibatkan China, kekhawatiran terbesar adalah konflik antara India dan Pakistan. Sejak merdeka dari Inggris, dua negara nuklir itu terlibat perang empat kali, tiga di antaranya terkait Kashmir.
Kita tentu tidak berharap situasi di Kashmir saat ini bakal berbuntut kekerasan atau konflik senjata. Karena itu, berbagai upaya harus dilakukan untuk mencegah situasi buruk tersebut. India—melalui aparat keamanan di Jammu dan Kashmir—harus menahan diri, demikian juga Pakistan.