Tata Ruang, Bukan Sekadar Tata Lahan
Jakarta dan sekitarnya kasatmata telah makin tersambung. Sulit menemukan lahan kosong tak bertuan. Dalam waktu singkat, rawa, sawah, dan lahan produktif lain bisa berubah menjadi gedung tinggi ataupun kompleks perumahan.
Lahan terbangun di Jabodetabek meluas. Di Jakarta, sekitar 90 persen wilayahnya sudah digunakan dan didominasi permukiman. Daya dukung lingkungan memburuk.
JAKARTA, KOMPAS — Jakarta dan sekitarnya kasatmata telah makin tersambung. Sulit menemukan lahan kosong tak bertuan. Dalam waktu singkat, rawa, sawah, dan lahan produktif lain bisa berubah menjadi gedung tinggi ataupun kompleks perumahan.
Di Jakarta saja, penelusuran Litbang Kompas, antara lain dari Penelitian Penggunaan Lahan dan Evolusi Penggunaan Lahan di Provinsi DKI Tahun 2012, diketahui pada 2008 saja 57.063 hektar atau 86,3 persen wilayah Jakarta telah beralih fungsi menjadi permukiman. Hanya 893,2 hektar berupa sungai/waduk/telaga/situ, 3234,8 hektar tanah kosong, dan sisanya masuk kategori nonurban seluas 4.934,7 hektar (Kompas.id, 3 Agustus 2019).
Luasan lahan terbangun di Jakarta terhitung tahun 2008 itu saja sudah delapan kali lipat dari tahun 1950. Data Badan Pusat Statistik, penduduk Ibu Kota kini 10,374 juta jiwa. Total se-Jabodetabek bisa di atas 30 juta jiwa dengan luasan lahan terbangun dua kali Jakarta atau sekitar 120.000 hektar.
Akibat alih fungsi lahan itu, salah satu yang terjadi adalah defisit air permukaan, peningkatan suhu (di Jakarta tahun 1940 suhu rerata 26,48 derajat celsius, tahun 2003 menjadi 31,40 derajat celsius), kekurangan air tanah, penurunan muka tanah (di Jakarta mencapai 5 sentimeter per tahun sejak 2013), serta pencemaran air. Dampak buruk itu belum termasuk saat bicara kemacetan, polusi udara, sampah, banjir, dan lainnya.
Salah satu pendekatan yang tepat dilakukan adalah kebijakan khusus dari pusat ataupun pemerintah daerah untuk mulai menata ruang dengan bijak, bukan sekadar mengalokasikan lahan-lahan untuk berbagai jenis pembangunan. Bisa dimulai dengan penataan ruang untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal layak.
Baca juga: Raksasa Rapuh Jabodetabek
Secara tempat tinggal layak masih menjadi persoalan di Jabodetabek. Seperti diulas pada harian ini, Rabu kemarin, di Jakarta saja masih ada kekurangan rumah hingga lebih dari satu juta rumah. Sekitar 50 persen warga Ibu Kota tidak memiliki rumah alias tinggal mengontrak atau sewa, dengan 40 persen di antaranya masyarakat kelas menengah ke bawah.
Mulai di tengah kota
Peneliti dan pengajar Departemen Perencanaan Perkotaan dan Realestat Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengatakan, pemerintah daerah, seperti Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, bisa mulai menata kawasan di sekitar jalur layanan transportasi publik, seperti di sepanjang jalur bus Transjakarta, rel kereta api, termasuk untuk KRL, MRT, ataupun LRT.
”Silakan yang di lapis pertama kanan-kiri jalan utama dan jalur transportasi itu untuk perkantoran, gedung, atau pusat bisnis yang premium. Lapis keduanya, yang kalau di Jakarta wujudnya kampung-kampung, itu bisa ditata,” kata Suryono.
Pemilik lahan tidak akan kehilangan hak. Namun, pendekatan yang baik, lahan terbangun berupa hunian tapak bisa dikelola menjadi hunian tinggi dengan menjamin hak pemilik tanah untuk dapat memiliki unit-unit di hunian tinggi yang layak dan memadai. Sisa lahan dapat dikelola untuk berbagai keperluan, penataan sungai, menambah ruang terbuka hijau, dan membuat kota menjadi bernapas lebih lega.
Hal seperti ini amat mungkin dilakukan. Dengan ketegasan pemerintah dan transparansi program serta pendekatan kepada warga yang tepat, kebijakan ini bisa diwujudkan secara bertahap.
Pengamat kebijakan publik Adi Susila dari Universitas Islam 45 Bekasi (Unisma) menambahkan, salah satu opsi yang bisa menjadi pilihan untuk menyediakan perumahan adalah membangun konsep hunian vertikal, seperti rumah susun sewa untuk warga berpenghasilan rendah. Namun, itu perlu didukung utilitas jaringan transportasi publik.
Masalahnya, di banyak kawasan perkotaan di Indonesia, termasuk di Bekasi juga di Jakarta, masih banyak area permukiman yang tidak terjangkau angkutan umum. Karena itu, penataan ruang vertikal menghemat penggunaan lahan dan mempercepat pembangunan angkutan publik massal baik berbasis jalan (bus) maupun rel (kereta api) disarankan.
Kepala Dinas Cipta Karya, Pertanahan, dan Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta Heru Hermawanto mengatakan, kebijakan Pemprov DKI Jakarta saat ini adalah menyediakan perumahan yang terjangkau. Kebijakan ini menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah hingga tinggi.
”Semua diupayakan untuk disiapkan,” katanya, Kamis (25/7/2019).
Kebijakan Pemprov DKI Jakarta saat ini adalah menyediakan perumahan yang terjangkau. Kebijakan ini menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah hingga tinggi.
Karena itu, ada ketentuan khusus di rencana detil tata ruang (RDTR) yang tengah disusun revisinya. Salah satunya adalah memudahkan pembangunan rumah susun (rusun) sehingga nantinya izin lokasi pembangunan rumah susun bisa di mana saja, kecuali di zona hijau dan zona biru. Rusun terbuka untuk semua strata, dari murah hingga mewah.
Salah satu kemudahan syarat itu, misalnya, untuk rusun bisa dibangun dengan luasan lahan 3.000 meter persegi. Pembangunan rusun akan memperoleh tambahan koefisien luas bangunan (KLB) menjadi 3,5 dari KLB untuk rumah tinggal hanya 2.
Baca juga: Rumah Dambaan Sebatas Brosur
Untuk masyarakat berpenghasilan rendah, ada subsidi seperti program DP 0 Rupiah yang diharapkan dapat menahan kenaikan harga perumahan.
Pihaknya juga tengah mengupayakan mendorong warga yang masih memiliki lahan di pusat kota untuk melakukan konsolidasi lahan, yaitu semacam kerja sama antara pemilik lahan yang berdekatan untuk mengelola lahan itu menjadi rumah susun. Di luar negeri konsep ini sudah berkembang dan disebut community land trust. Dengan demikian, warga pemilik lahan di pusat kota tidak mudah tergoda untuk menjual lahannya.
Upaya untuk mendorong konsolidasi lahan ini tidak bisa masuk dalam RDTR karena RDTR sifatnya netral. Upaya ini harus didukung dinas-dinas terkait, seperti kemudahan perizinan dan koordinasi dari sisi pembinaan pengelolaan rumah susun. (STEFANUS ATO)