Pelanggan mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau class action terhadap PT Perusahaan Listrik Negara (PLN/Persero) atas padamnya listrik beberapa waktu lalu. PLN diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan menjanjikan kompensasi terhadap pelanggan yang dirugikan. Namun gugatan ini dinilai sulit dimenangkan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pelanggan mengajukan gugatan perwakilan kelompok atau class action terhadap PT Perusahaan Listrik Negara (PLN/Persero) atas padamnya listrik beberapa waktu lalu. PLN diduga melakukan perbuatan melawan hukum dengan menjanjikan kompensasi terhadap pelanggan yang dirugikan. Namun gugatan ini dinilai sulit dimenangkan.
Dikrektur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Arif Maulana, Jumat (9/8/2019), di Jakarta menerangkan, class action sulit dimenangkan karena proses pembuktiannya yang berlapis. Pembuktian formal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 itu, tidak diterapkan seragam di pengadilan.
Merujuk Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, class action adalah tata cara pengajuan gugatan, satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak.
Mereka memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok. Pembagian ini didasarkan pada tingkat penderitaan yang dialami. Pasal 5 aturan itu menerangkan, hakim wajib memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok.
Apabila hakim memutuskan penggunaan prosedur gugatan class action sah, segera setelah itu, hakim memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahuan untuk memperoleh persetujuan hakim. Sebaliknya, apabila hakim memutuskan bahwa penggunaan tata cara gugatan class action tidak sah, pemeriksaan gugatan dihentikan dengan suatu putusan hakim.
Sebagai gambaran, dari beberapa kasus class action yang ditangani LBH Jakarta, tidak ada satu kasus pun yang dimenangkan. Kasus class action itu rerata melibatkan banyak anggota kelompok penggugat. Dia berpendapat, gugatan class action ke PLN terlalu terburu-buru. Butuh waktu dan data untuk mengorganisir pelanggan PLN selaku penggugat.
"Tetapi gugatan keburu sudah didaftarkan. Cepat sekali. Kemungkinan syarat formilnya saja tidak terpenuhi," katanya.
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan LBH Indonesia Era Purnama Sari menambahkan, pemahaman hakim dan "faktor eksternal" sangat memengaruhi. Terlebih jika class action itu berhadapan dengan perusahaan. "Kan tahu sendiri. Peradilan kita masih korup," Katanya.
Class action terhadap PLN didaftarkan oleh Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Republik Indonesia (LKBH RI) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (9/8/2019). Pengacara Mulkan Let-Let menggugat PLN dengan ganti rugi sebesar Rp 20 triliun. Selain PLN, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), selaku kementerian yang memayungi PLN, juga dituntut dengan besaran yang sama.
Mulkan menjelaskan, terhentinya pasokan listrik di wilayah barat Pulau Jawa, Minggu (4/8/2019), menimbulkan kerugian materi dan nonmateri. Sesuai Pasal 29 Ayat 1 (e) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, katanya, konsumen berhak untuk mendapatkan ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik.
Namun faktanya, lanjut Mulkan, PLN menggunakan Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2017 sebagai dasar pemberian kompensasi. Pada Pasal 6 ketentuan itu, PLN wajib memberikan pengurangan tagihan listrik kepada konsumen apabila realisasi tingkat mutu pelayanan tenaga listrik melebihi 10 persen di atas besaran tingkat mutu pelayanan tenaga listrik yang ditetapkan, yakni untuk indikator lama gangguan, jumlah gangguan, kecepatan pelayanan perubahan daya tegangan rendah, kesalahan pembacaan kWh meter, waktu koreksi kesalahan rekening, dan atau kecepatan pelayanan sambungan baru tegangan rendah.
Merespons gugatan ini, Kepala Bagian Biro Humas Kementerian BUMN, Ferry Andrianto menyatakan belum menerima gugatan itu. "Setelah diterima, akan kami pelajari dulu materi gugatannya," katanya.
Sementara itu, Executive Vice President Corporate Communication and CSR PLN I Made Suprateka tidak membalas pesan singkat yang dikirim Kompas. Dia juga tidak mengangkat telepon dari Kompas.