Kota Palangkaraya dan Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan Tengah serta Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur boleh terpisah jauh. Namun, hari-hari ini fenomena di sana sama: harga tanah meroket, dipicu isu pindah ibu kota.
Lutfi Bachtiar baru saja menjual lahan 2 hektar di Kilometer 47 dekat Desa Tumbang Talaken, Kabupaten Gunung Mas. Tanah itu dijual Rp 400 juta.
”Yang beli orang Jakarta, tetapi yang menawar dari Surabaya sampai Bali ada. Ya, gara-gara ibu kota mau pindah,” kata Lutfi, Kamis (8/8/2019). Pembeli mengatakan bermaksud investasi karena yakin ibu kota negara pindah ke Kalteng. Keyakinan berawal saat Presiden Joko Widodo mengunjungi Desa Tumbang Talaken, Kecamatan Manuhing, Kabupaten Gunung Mas, Mei 2019.
Di wilayah Tumbang Talaken, Presiden meninjau lokasi hutan yang kemungkinan menjadi lokasi ibu kota baru. Menurut Camat Manuhing Sugiarto, awalnya satu kapling tanah ukuran 20 meter x 30 meter dipatok Rp 10 juta jika jauh dari permukiman. Seiring santernya isu pemindahan ibu kota, harga tanah naik menjadi Rp 40 juta per kapling.
”Saya sudah mengimbau masyarakat jangan main jual beli tanah. Ini, kan, belum pasti di mana lokasi ibu kota nanti,” kata Sugiarto. Lokasi Manuhing sekitar 140 kilometer dari Kota Palangkaraya.
Jalan menuju ke sana sebagian besar masih rusak. Di kiri-kanan jalan terdapat perkebunan sawit. Jenis tanahnya bukan gambut. ”Euforia” transaksi lahan juga merebak di Palangkaraya. Lahan-lahan telantar mulai dibersihkan dan ditandai. ”Sudah lima tahun tak digarap. Dulu ada nanas ditanam,” kata Marhat (39), warga Kota Palangkaraya. Ia baru saja mendapat sertifikat atas tanah di Jalan Mahir-Mahar yang langganan terbakar itu.
Marhat baru saja membuat patok di lahan 300 meter persegi itu. ”Harganya naik. Makanya, saya urus sertifikat di BPN (Badan Pertanahan Nasional),” katanya. Lahan berukuran 10 meter x 30 meter itu ditawarkan Rp 80 juta. Tanah berukuran sama di lokasi itu tahun 2017 laku dijual Rp 40 juta.
Pembersihan lahan juga dilakukan Nikolas Itak (45), warga Hiu Putih 20. Ia mengupah dua orang untuk membersihkan lahan dengan menyiram cairan kimia pembasmi gulma agar rumput kering dan mudah dibersihkan. ”Selama ini tidak sempat saya garap. Dulu ada sawit, tetapi mau diganti tanaman lain. Mending saya jual,” ucapnya.
Di Palangkaraya, pendaftaran tanah meningkat. Periode Januari-Juli 2018 mencapai 340 bidang tanah, sementara periode yang sama tahun 2019 menjadi 375 bidang tanah.
”Peningkatan itu terasa. Bukan hanya karena pemindahan ibu kota, melainkan juga karena program sertifikat gratis,” kata Kepala Subbidang Penetapan Hak Tanah BPN Palangkaraya Sony Gusti Anasta.
Terkait spekulasi harga tanah, Kepala BPN Provinsi Kalteng Pelopor mengungkapkan, isu pemindahan ibu kota juga berdampak pada konflik lahan. Ia enggan berkomentar banyak. Namun, ia menegaskan, banyak mafia tanah bermunculan sejak isu pemindahan ibu kota ramai.
Kalteng merupakan salah satu provinsi calon ibu kota negara. Lahan seluas 300.033 ha disiapkan di ”segitiga emas” yang meliputi Kota Palangkaraya, Kabupaten Gunung Mas, dan Kabupaten Katingan.
Gubernur Kalteng Sugianto Sabran pun optimistis ibu kota dipindahkan ke Kalteng. ”Kami sudah menyiapkan dan saat ini daerah-daerah mulai berbenah menyelesaikan berbagai masalah,” katanya.
Bukit Soeharto diincar
Di Kalimantan Timur, lahan kawasan sekitar Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara, salah satu calon ibu kota negara, juga mulai diincar investor.
Bahkan, ada yang menanyakan harga tanah di lahan konservasi. Mereka mengaku pengusaha dari Jakarta. ”Katanya ingin buat perkantoran. Tahura itu wilayah konservasi dan milik negara sehingga tidak bisa,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Tahura Bukit Soeharto, Rusmadi.
Presiden Jokowi mengunjungi kawasan itu pada Mei 2019. Sejak itu, gejolak jual beli lahan muncul. Menyusuri Jalan Soekarno-Hatta dari Km 38 hingga Km 50, Rabu (7/8), setidaknya ada tiga plang menawarkan tanah dijual. Padahal, kawasan itu masuk Tahura Bukit Soeharto. Lahan itu berada di jalan utama Balikpapan-Samarinda dan dikunjungi Presiden, Mei lalu.
Saat dihubungi, penjual bernama Kus itu berada di Makassar, Sulawesi Selatan. Ia hendak menjual tanah 1 ha seharga Rp 1,5 juta per meter persegi. Plang dipasang sejak Juli 2019. ”Februari tahun depan mungkin saya jual Rp 5 juta per meter persegi. Surat sedang kami urus. Ini tak masuk kawasan tahura,” kata Kus. Saat dicek ke kelurahan, lahan itu masuk kawasan konservasi.
Enam bulan lalu, perusahaan tambang membeli tanah warga luar tahura Rp 600 juta per ha. ”Lokasinya di Samboja dan harga itu cukup tinggi,” kata Sekretaris Lurah Bukit Merdeka Antonius K Pakalla.
Di tengah harapan untung besar dari tanah, ada pula yang khawatir. ”Silakan, saya senang-senang saja asalkan tak merugikan kami,” ujar Baderun (80). Suaranya bergetar. Warga asal Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, itu mengolah lahan karet 15 ha, di antaranya ditanami karet produktif. Menetap di Samboja sejak 1969, ia tak memiliki surat-surat atas tanah yang dikelolanya.