Membangkitkan Ekonomi, Memulihkan Trauma
Setelah mandek satu tahun, para perempuan di Dusun Tanak Muat, Desa Kayangan, Lombok Barat, akhirnya kembali memproduksi tahu. Lama tiarap akibat gempa Lombok 2018, perlahan mereka kembali bangkit, memulihkan ekonomi sekaligus traumanya.
Setelah mandek satu tahun, para perempuan di Dusun Tanak Muat, Desa Kayangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, akhirnya kembali memproduksi tahu. Lama tiarap akibat gempa Lombok 2018, perlahan mereka kembali bangkit, memulihkan ekonomi sekaligus traumanya.
Jarum jam menunjukkan pukul 12.00 Wita saat Makiah (39) dan Rahmadin (40), suaminya, mondar-mandir dengan pekerjaan masing-masing di area produksi Kelompok Wanita Tani (KWT) Cempaka Putih, Rabu (7/8/2019). Pada siang yang cerah itu, mereka tengah membuat tahu.
Makiah dan Rahmadin berbagi tugas. Makiah mengecek tahu yang sedang dikempa (ditindih di cetakan), mengeluarkannya ketika sudah padat, lalu meletakkannya di atas para-para. Termasuk menyiapkan cetakan baru untuk tahu berikutnya.
Sementara Rahmadin menjaga tungku perapian untuk merebus bubur kedelai. Setelah matang, ia memasukkan bubur kedelai itu ke dalam saringan plastik. Saringan itu diletakkan pada sebuah bak dari semen yang pada satu sisinya terdapat selang kecil untuk mengeluarkan air saringan.
Setiap kali Rahmadin mendapatkan satu bak air sari kedelai, Makiah mendekat. Ia pun lalu memasukkan beberapa sendok air garam dan mengaduknya. Air garam diberikan agar sari kedelai itu bisa menggumpal.
Baca juga: Perekonomian NTB di Triwulan II 2019 Diprediksikan Membaik
Mereka kemudian bersama-sama mengangkat bak dan memasukkan air sari kedelai ke dalam cetakan yang sudah dilapisi kain. Setelah itu, mereka memastikan sari kedelai itu merata di cetakan, kemudian menutupnya dengan kain dan papan penutup cetakan.
”Sejak Jumat lalu, kami sudah kembali memproduksi tahu. Rasanya senang karena sudah hampir setahun terhenti,” kata Makiah.
Menurut Makiah, produksi tahu yang dilakukannya bersama anggota KWT Cempaka Putih terhenti karena tempat produksi dan peralatan mereka rusak akibat gempa. Sejak saat itu, mereka tidak mempunyai kegiatan apa pun.
”Sawah juga gagal panen. Jadi kami menganggur. Untuk kebutuhan sehari-hari, kami mengandalkan sisa tabungan,” kata Rahmadin.
Makiah mengatakan, saat ini mereka memang belum berproduksi normal, seperti saat sebelum gempa, yakni hingga 25 papan tahu per hari. ”Sehari baru bisa buat 12 papan tahu. Tetapi tidak apa-apa. Paling tidak ada harapan untuk pemulihan ekonomi keluarga,” ucapnya.
Ketua KWT Cempaka Putih Siti Fatimah (35) menambahkan, kelompok yang berdiri sejak 2017 itu beranggotakan 31 orang, termasuk Makiah. Siti mengatakan, gempa tidak hanya menghentikan produksi tahu, tetapi juga usaha tani sayur-sayuran.
”KWT Cempaka Putih juga menanam sayuran seperti cabe, kangkung, sawi, mentimun, tomat, dan terong. Tetapi, karena gempa, berhenti karena tidak ada air. Semua bibit mati dan rusak,” kata Siti.
Menurut Siti, mereka kembali bisa beraktivitas setelah mendapat bantuan peralatan dan bahan baku pembuatan tahu dari Yayasan Sheep Indonesia Yogyakarta. Penanaman sayuran juga bisa berjalan karena lembaga swadaya masyarakat yang tengah mengelola program rehabilitasi dan rekonstruksi di Lombok Utara itu juga membantu penyediaan air dan sanitasi.
”Alhamdulillah, keadaan sudah membaik. Sekarang sudah ada pemasukan lagi,” kata Siti.
Tahu produksi mereka, kata Siti, dipasarkan di pasar-pasar tradisional di Kecamatan Kayangan, seperti Tampes, Anyar, Ancak, Lokok Rangan, dan Santong.
”Satu papan dijual Rp 35.000. Hasil penjualan untuk honor anggota dan kas kelompok. Setiap anggota yang hari itu bertugas membuat tahu masing-masing dibayar Rp 3.000 per papan,” kata Siti.
Baca juga: Penyintas Gempa Didorong Pahami Rehabilitasi Hunian
Tidak hanya di Tanak Muat, pemulihan ekonomi pascagempa juga berlangsung di Dusun Salut Timur, Desa Salut, Kecamatan Kayangan. Bedanya, di dusun itu pemulihan ekonomi lewat budidaya madu trigona. Madu tersebut dihasilkan lebah jenis Propolis trigono.
Kepala Dusun Salut Jumadil (42) mengatakan, di tempatnya ada lima kelompok budidaya madu dengan total 600 kotak atau koloni. Pada musim panen, setiap bulan, mereka bisa memproduksi 600 liter madu. Madu tersebut dipasarkan ke Mataram dan Surabaya dengan harga Rp 150.000 per kemasan 600 milimeter.
”Tetapi gempa membuat ratusan koloni rusak. Tersisa hanya 200 koloni. Akibatnya, anggota kelompok beralih menjadi peladen atau tukang di program pembangunan hunian tetap,” kata Jumadil.
Baca juga: Gamang di Pasar Sayang-Sayang
Menurut Jumadil, setahun pascagempa, proses pemulihan dimulai. Bulan ini mereka sudah kembali panen pada koloni yang tersisa, termasuk 20 koloni bantuan Yayasan Sheep Indonesia.
”Hasil panen memang belum banyak karena baru bisa kembali normal sekitar dua tahun. Meski demikian, sekarang sudah berangsur pulih dan keadaan membaik,” kata Jumadil.
Gempa tidak hanya merusak rumah, tetapi juga meninggalkan trauma pada masyarakat.
Pemulihan trauma
Dusun Tanak Muat berada sekitar 57 kilometer utara Mataram, ibu kota NTB. Adapun Salut Timur, yang berada di kawasan kaki Gunung Rinjani, sekitar 87 kilometer dari Mataram. Kedua dusun itu termasuk daerah terdampak gempa Lombok 2018.
Di Tanak Muat, dari 74 rumah warga, 16 rumah rusak berat, 6 rumah rusak sedang, dan 46 rumah rusak ringan. Sementara di Salut tercatat 310 rusak berat, 4 rusak sedang, dan 10 rusak ringan.
Gempa tidak hanya merusak rumah, tetapi juga meninggalkan trauma pada masyarakat. Menurut A Hari Witono, Ketua Educational Consultant and Counseling Career, yang tengah melakukan pendampingan psikososial di Kayangan, mereka masih menemukan berbagai gejala trauma akibat gempa Lombok 2018 pada banyak warga.
Baca juga: Forum Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas di Lombok Utara Digagas
Menurut Hari yang juga Kepala Unit Pelaksana Teknis Bimbingan Konseling dan Pembinaan Karier Mahasiswa Universitas Mataram, gejala itu antara lain tidak berani tidur sendiri, takut isu dari orang lain, tidak berani tidur di dalam rumah, panik berlebihan, sering menangis, mimpi buruk, cemas, dan menangis setiap mendengar getaran atau suara.
Oleh karena itu, menurut Hari, selain pemerintah, semua pihak juga harus bergerak. Tidak harus dalam proyek besar, tetapi bisa juga lewat kegiatan-kegiatan yang selama ini dekat dengan masyarakat.
”Menyediakan ruang untuk bercerita, mengobrol satu sama lain, juga termasuk upaya pemulihan. Itu juga bisa menyembuhkan orang yang mengalami tekanan jiwa,” kata Hari.
Menyediakan ruang untuk bercerita, mengobrol satu sama lain, juga termasuk upaya pemulihan. Itu juga bisa menyembuhkan orang yang mengalami tekanan jiwa. (Hari Witono)
KWT Cempaka Putih juga menerapkan cara itu. ”Setiap hari, kami bekerja sekitar tujuh jam. Tetapi kami bekerja dengan santai. Jadi bisa sambil menggendong anak, ngobrol, bahkan bisa pulang sebentar kalau ada urusan di rumah. Jadi, membuat tahu hitungannya bukan kerja, tetapi mengisi waktu sambil bercerita dan mengobrol banyak hal yang bisa membantu menghilangkan trauma,” kata Siti.
Rabu kemarin, misalnya, tidak hanya Makiah dan suaminya yang berada di area produksi. Anggota kelompok yang lain juga datang. Sepanjang siang, berbagai topik dibahas disertai tawa lepas setiap kali ada cerita lucu yang muncul di antara mereka.
Baca juga: 700 Keluarga Penyintas Belum Bisa Bangun Rumah
Menurut Makiah, trauma akan gempa memang belum sepenuhnya hilang. Meski demikian, dia bersama keluarganya jauh lebih tenang. Bukan hanya karena kembali mendapat pemasukan, melainkan juga karena lebih banyak kesempatan berinteraksi dengan warga lain.
”Kalau diam saja di rumah, mungkin makin susah untuk merasa tenang,” kata Makiah.
Jumadil juga menyampaikan hal sama. Menurut dia, pemulihan trauma memang tidak bisa serta-merta. Namun, kembalinya warga Salut Timur memproduksi madu dan semakin sering bertemu satu sama lain akan bisa mempercepat pemulihan trauma itu.
Staf Bidang Pengorganisasian dan Advokasi Yayasan Sheep Indonesia Yogyakarta Husaini mengatakan, bertemu dan bersosialisasi memang menjadi media paling efektif bagi orang dewasa untuk memulihkan trauma.
Oleh karena itu, mereka mendorong kegiatan sebagai ruang sosialisasi bagi warga, sekaligus memulihkan ekonomi. Tahu dipilih karena warga Tanak Muat sebelumnya membuat tahu, begitu juga dengan madu di Salut Timur.
”Pola ini juga diterapkan di Sinabung, Sumatera Utara. Di sana, latar belakang warganya ada gereja. Cara untuk mendorong pemulihan trauma adalah lewat kegiatan membuat kue bersama. Jadi, indikator keberhasilannya tidak hanya uang, tetapi juga terbangunnya interaksi antarwarga,” kata Husaini.