Penerbit menunggu negara bersikap tegas mengenai aturan penerbitan dan peredaran buku. Tanpa ketegasan ini, sekelompok warga bisa main hakim sendiri merazia, bahkan menyita, buku-buku yang tidak sesuai selera mereka, dan berdampak konflik horizontal. Ini mencederai gerakan literasi dan pencerdasan bangsa.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penerbit menunggu negara bersikap tegas mengenai aturan penerbitan dan peredaran buku. Tanpa ketegasan ini, sekelompok warga bisa main hakim sendiri merazia, bahkan menyita, buku-buku yang tidak sesuai selera mereka, dan berdampak konflik horizontal. Ini mencederai gerakan literasi dan pencerdasan bangsa.
”Pemerintah baru bertindak jika menyangkut kepentingannya, misalnya saat menggugat penerbit Obor Rakyat ke pengadilan karena mengeluarkan buku Jokowi Undercover. Namun, ketika masyarakat menghadapi ancaman pembungkaman literasi, justru tidak ada tindakan,” kata sejarawan dan pendiri penerbitan Komunitas Bambu, JJ Rizal, di Depok, Jawa Barat, Kamis (8/8/2019).
Ia mengkritisi kasus razia buku oleh sekelompok warga, yang beberapa di antaranya berujung pada penyitaan buku, di Kediri, Padang, Probolinggo, dan Makassar. Mereka beralasan buku-buku itu membahas teori marxisme, leninisme, dan komunisme. Padahal, Mahkamah Agung pada 2010 sudah mencabut Undang-Undang 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum.
Namun, para penyita tidak membaca dan memahami konteks buku-buku itu sebagai karya ilmiah yang ditulis akademisi, seperti Ruth McVay, Peter Kasenda, dan Onghokham. Sebagai karya ilmiah, buku-buku itu didasari kejelasan metodologi penelitian dan argumentasi kelimuan.
Proses mengindonesia lahir dari pemahaman berbagai ideologi yang kemudian didialektikakan oleh para pendiri bangsa. Masyarakat lupa pada sejarah ini.
Lahir dari buku
Rizal menjelaskan, bangsa Indonesia sejatinya lahir dari buku. Pada awal kebangkitan nasionalisme di abad ke-20 terkenal istilah bangsawan pemikiran yang berarti orang-orang bermartabat, meski tidak lahir dari keluarga berdarah biru.
Martabat itu lahir dari penguasaan ilmu yang didapat dari banyak membaca berbagai jenis buku, mulai dari ideologi konservatif hingga radikal. Banyak membaca menghasilkan wawasan yang tak hanya luas, tetapi juga dalam. Tokoh pergerakan HOS Cokroaminoto saja menulis buku berjudul Islam dan Sosialisme.
”Proses mengindonesia lahir dari pemahaman berbagai ideologi yang kemudian didialektikakan oleh para pendiri bangsa. Masyarakat lupa pada sejarah ini,” ujarnya.
Direktur penerbit Bentang Pustaka Salman Faridi menerangkan, proses mencetak buku melalui redaksional berlapis guna memastikan validitas kaidah ilmiah. Ketika berbicara tentang teori ataupun ideologi, penerbit memastikan buku tidak berupa pendapat penulis semata tanpa rujukan ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.
Bentang menerbitkan buku pemikiran Noam Chomsky, akademisi Amerika Serikat yang tidak populer di Indonesia karena mengkritisi pemerintah. ”Kami terbuka terhadap berbagai sanggahan selama dilakukan dengan landasan ilmiah,” ujarnya.
Hak pribadi
Pegiat Perkumpulan Literasi Indonesia Wien Muldian mengutarakan, selera membaca merupakan hak setiap individu yang tak bisa diintervensi siapa pun. Melarang masyarakat membaca karena perbedaan selera sama saja dengan melanggar hak untuk mendapat pengetahuan. Melarang buku terbit karena selera sekelompok orang sama artinya dengan melanggar hak berekspresi melalui tulisan.
”Membaca adalah kegiatan yang bersifat pribadi guna meningkatkan kapasitas seseorang mencerna informasi dan memperoleh pengetahuan. Di dalamnya ada proses dialektika,” ucapnya.
Di dalam Undang-Undang Sistem Perbukuan sudah ditegaskan, jika masyarakat mempermasalahkan buku, mereka bisa melaporkan kepada penegak hukum ataupun Ikatan Penerbit Indonesia agar buku tersebut diselidiki dalam proses yang transparan dan melibatkan berbagai pakar. Hanya pengadilan yang bisa memutuskan bahwa buku tersebut perlu dilarang peredarannya.
Wien berpendapat, apabila pemerintah serius menangani perbukuan, bisa dengan cara menerbitkan daftar buku terbaik dan buku terlarang. Tentu, tidak seperti di zaman Orde Baru, ketika penerbit harus menyerahkan naskah buku kepada Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban guna meminta izin mencetak buku.
Bisa dicontoh di Amerika Serikat yang daftarnya dikeluarkan oleh Library of Congress, mirip seperti Perpustakaan Nasional di Indonesia, atau Dewan Klasifikasi Australia. Prosedurnya berdasarkan umpan balik masyarakat terhadap buku tertentu di pasaran yang kemudian dikaji pemerintah, dengan melibatkan banyak pihak.
Keputusan buku tersebut masuk daftar terbaik ataupun terlarang disertai penjelasan yang terperinci. ”Daftar ini juga bisa ditarik sewaktu-waktu seiring perubahan wawasan dan pendapat masyarakat terkait isu tersebut,” ujar Wien.
Dari segi pemerintah, dalam seminar ”Pengutamaan Bahasa Negara di Ruang Publik” oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 6 Agustus 2019, Kepala Ombudsman RI Amzulifan Rifai menegaskan bahwa membaca termasuk kebebasan masyarakat. Pemerintah sudah mengatur prosedur pelarangan buku secara ketat dengan syarat kajian konten yang mendalam.