Bus Batik Solo, Harapan yang Terpinggirkan
Sembilan tahun beroperasi, angkutan massal bus Batik Solo Trans kini dihadapkan pada tantangan berat. Apabila kelahirannya kala itu membawa harapan baru perbaikan wajah transportasi publik di ”Kota Bengawan”, kini nasibnya kian ditepikan, ditinggalkan penumpang.
Sembilan tahun beroperasi, angkutan massal bus Batik Solo Trans kini dihadapkan pada tantangan berat. Apabila kelahirannya kala itu membawa harapan baru perbaikan wajah transportasi publik di ”Kota Bengawan”, kini nasibnya kian ditepikan, ditinggalkan penumpang.
Bus Batik Solo Trans (BST) yang diluncurkan 1 September 2010 membawa budaya baru transportasi umum di Solo dengan menerapkan sistem modern menggantikan bus kota konvensional. BST tidak lagi berhenti sembarangan untuk menurunkan ataupun menaikkan penumpang karena hanya berhenti di halte.
Saat pertama diluncurkan Pemerintah Kota Solo, Jawa Tengah, ada 15 bus BST melayani Koridor 1, yaitu Terminal Palur-Terminal Kartasura-Bandara Adi Soemarmo PP. Lima belas bus itu bantuan pemerintah pusat dengan operator Perum Damri. BST saat itu menggantikan rute yang semula digarap bus Damri A.
Setelah BST Koridor 1 beroperasi, Pemkot Solo mengembangkan pelayanan BST dengan menggandeng perusahaan otobus (PO) swasta di Solo sebagai operator BST. Manager Operasional dan Sumber Daya Manusia PT Bengawan Solo Trans (operator BST) Sri Sadadmodjo, dalam sebuah diskusi publik bertema ”Masa Depan Transportasi Solo” yang digelar Aliansi Jurnalis Independen Solo bersama Lingkar Studi Transportasi (Transportologi) dan Monumen Pers Nasional di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (27/7/2019), menuturkan, Pemkot Solo mulai mengajak berbicara sejumlah PO di Solo pada 2012.
Baca juga: Bus-Angkot Jadi Alternatif Ojek
Setelah melalui rangkaian pembicaraan panjang dengan Pemkot Solo, lima perusahaan otobus sepakat membentuk konsorsium yang dinamakan PT Bengawan Solo Trans tahun 2013. Kelima PO itu ialah Atmo, Nusa, Ska Jaya, Sumber Rahayu, dan Surya Kencana. PT Bengawan Solo Trans menjadi operator kedua setelah Perum Damri.
”Yang menyediakan busnya adalah pemerintah. Sebab, kalau yang menyediakan bus BST adalah konsorsium, dari sisi bisnis tidak akan bisa kembali ke titik impas,” kata Sadadmodjo.
Konsorsium PT Bengawan Solo Trans mengoperasikan 10 bus bantuan pemerintah serta membeli sendiri enam bus. Enam belas bus itu dioperasikan melayani Koridor 2 dan Koridor 3, menggantikan bus-bus kota lama yang sebelumnya dioperasikan lima PO anggota konsorsium. Tarif penumpang BST ditetapkan Rp 4.000 untuk penumpang umum dan Rp 1.500 untuk pelajar.
”Waktu itu terjadi perubahan budaya naik bus yang luar biasa. Penumpang yang tidak tahu nyegat (mencegat) bus tetap di pinggir jalan, bukan di halte. Turun juga maunya bukan di halte. Waktu itu butuh satu tahun untuk edukasi,” ucap Sadad.
Waktu itu terjadi perubahan budaya naik bus yang luar biasa. Penumpang yang tidak tahu, nyegat (mencegat) bus tetap di pinggir jalan, bukan di halte. (Sadadmodjo)
Kehadiran BST disambut baik masyarakat. Tahun 2014 jumlah penumpang sekitar 4.000 orang per hari. Pada 2016 penumpang melonjak hingga 8.000-9.000 orang per hari. Namun, mulai 2017, penumpang terus menurun seiring bertambahnya ojek daring di Solo. Penumpang BST turun menjadi sekitar 5.000 orang per hari.
Februari 2019, Pemkot Solo mengalihkan operator BST Koridor 1 dari semula Perum Damri kepada PT Bengawan Solo Trans karena tidak sanggup mengoperasikan bus BST di Koridor 4. Pengoperasian BST di Koridor 4 sebelumnya ditargetkan pada September 2017, tetapi hingga 2019 belum terealisasi.
Baca juga: Kementerian Perhubungan Beli Layanan Bus Perkotaan
Kepala Dinas Perhubungan Solo Hari Prihatno mengakui pengembangan transportasi massal perkotaan di Solo menghadapi tantangan berat. Kondisi itu secara nyata dialami BST. ”Namun, dibandingkan dengan kota lain yang setingkat, penataan transportasi di Solo masih jauh lebih baik,” ujarnya.
Menurut Hari, Pemkot Solo sebenarnya telah memiliki grand design pengembangan transportasi publik. Dalam rancangan induk itu ditetapkan 15 koridor. Tujuh koridor akan dilayani bus BST dan delapan koridor dilayani angkutan kota yang berperan sebagai pengumpan bus BST.
Angkutan kota ini menggunakan jenis kendaraan minibus. Saat ini, dari tujuh koridor, BST baru bisa melayani tiga koridor. ”Pemerintah Kota Solo sudah berperan luar biasa, misalnya dengan melakukan peremajaan angkot-angkot yang sudah tua diganti baru,” katanya.
Baca juga: Transjakarta Bakal Hapus Tiket Kertas
Hingga akhir 2018, peremajaan angkutan pengumpan BST mencapai 101 unit dari target total 240 unit. Tahun 2019 bakal ada peremajaan lagi 20 unit. Peremajaan angkutan pengumpan itu untuk mendukung operasi bus BST.
”Target awalnya mengganti 240 angkutan, tetapi nanti mungkin tidak sampai sebanyak itu karena akan ada perbaikan koridor yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan,” katanya.
Menurut Hari, berbagai upaya telah dilakukan Pemkot Solo bersama operator untuk memperbaiki kualitas pelayanan bus BST agar bisa menarik warga menggunakan transportasi massal. Upaya itu di antaranya memperbaiki kepastian waktu tunggu kedatangan bus. Selain itu, memasang mesin pembayaran nontunai di dalam bus. Namun, kondisi BST tidak menjadi lebih baik.
Baca juga: Jaringan Transportasi Jadi Kunci
Menurunnya performa BST dinilai karena banyak faktor. Salah satunya kehadiran ojek dan taksi daring secara masif. Dengan tarif yang sangat murah dan langsung dijemput dan diantar hingga tujuan, warga beralih menggunakan angkutan daring itu. Diperkirakan ada sekitar 5.000 ojek daring yang beroperasi di Solo, belum termasuk taksi daring.
”Masyarakat sudah tidak mau menggunakan BST dan feeder, maunya adalah yang murah, yang berbasis daring,” katanya.
Untuk membenahi pelayanan BST, Pemkot Solo kini berencana menerapkan subsidi penumpang dengan skema buy the service atau pembelian layanan kepada operator swasta. Sistem ini akan dijalankan dengan dukungan dana pemerintah pusat. Dengan skema ini, tarif penumpang bakal bisa lebih murah. Penumpang BST pun tidak perlu membayar lagi ketika berpindah koridor.
Baca juga: Kemenhub Optimalkan Angkutan Massal Antarkota
Titis Efrindu Bawono, perencana transportasi perkotaan Transportologi-Lingkar Studi Transportasi Indonesia, menilai, pengembangan transportasi massal di Solo masih bersifat parsial. Batas wilayah administratif dengan daerah lain menjadi salah satu hambatan pengembangan BST.
Karena itu, dibutuhkan peran Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mengoordinasi antarkabupaten/kota di Solo Raya agar pelayanan transportasi massal perkotaan lebih terintegrasi. Selain itu, fasilitas pendukung BST juga masih kurang. Misalnya, trotoar yang masih minim padahal penting untuk memudahkan warga mengakses halte BST. ”Kelemahan lain BST, pembayarannya juga masih single trip,” katanya.
Hal yang terpenting, butuh keberpihakan kebijakan pemerintah dalam mendorong angkutan massal menjadi prioritas transportasi perkotaan. Sebab, semangat awal angkutan massal untuk mengurangi kemacetan dan polusi suatu kota. Sementara itu, meski menjadi alternatif angkutan yang kini dinilai tidak ribet, ribuan ojek daring harus diakui turut menyumbang kemacetan dan polusi.