Pemprov DKI Perketat Pengawasan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperketat pengawasan terhadap industri-industri yang aktif mengeluarkan emisi. Jika ditemukan industri yang mengeluarkan emisi di atas baku mutu, izin operasi industri tersebut bakal dicabut.
Industri aktif sumber emisi menjadi sasaran yang diawasi ketat untuk mereduksi polusi udara. Pemerintah juga didorong memperbaiki infrastruktur dan fasilitas publik.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperketat pengawasan terhadap industri-industri yang aktif mengeluarkan emisi. Jika ditemukan industri yang mengeluarkan emisi di atas baku mutu, izin operasi industri tersebut bakal dicabut.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, seluruh kegiatan usaha harus memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Dengan demikian, emisi gas buang yang dikeluarkan tidak mengakibatkan polusi.
”Dan, apabila di sana terjadi pelanggaran, otomatis (industri tersebut) akan bisa langsung dilakukan tindakan,” ujar Anies, Kamis (8/8/2019), di Jakarta.
”Dan, apabila di sana terjadi pelanggaran, otomatis (industri tersebut) akan bisa langsung dilakukan tindakan,” ujar Anies, Kamis (8/8/2019), di Jakarta.
Instruksi itu dijalankan langsung oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI pada Kamis pagi dengan menginspeksi mendadak dua pabrik di daerah Pulogadung, Jakarta Timur. Dua pabrik yang dicek nilai baku mutu emisinya yaitu PT Mahkota Indonesia yang memproduksi asam sulfat dan PT Hong Xin Steel yang fokus pada peleburan baja.
Kedua pabrik tersebut dijatuhi sanksi karena emisi yang dikeluarkan melebihi baku mutu. DLH DKI meminta agar cerobong asap diperbaiki dan emisinya dikendalikan.
Manajer Hukum PT Hong Xin Steel Irwan menyebutkan, pihaknya tidak mempermasalahkan inspeksi mendadak dan siap didatangi kapan saja. Sidak sudah rutin dilakukan DLH.
Pengecekan secara berkala ini harus dilakukan DLH setiap enam bulan terhadap industri yang aktif mengeluarkan emisi. Hal itu tertuang dalam Instruksi Gubernur Nomor 66 Tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. ”Karena (industri) itu di wilayah kita, (pengendalian) itu yang bisa kami lakukan,” tutur Anies.
Dalam upaya pengendalian kualitas udara, Anies juga telah meminta PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk meninjau kembali cerobong-cerobong pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN yang berada di wilayah Jakarta. Tujuannya agar memastikan tidak ada polusi dari PLTU yang mencemari udara Ibu Kota.
Setidaknya ada dua pembangkit listrik yang ada di Jakarta, yakni Indonesia Power (IP) di Tanjung Priok dan Pembangkit Jawa-Bali (PJB) milik PLN di Muara Karang.
Secara terpisah, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI Benny Agus Chandra menyampaikan, tahun ini pemerintah menindak tegas industri yang asapnya melebihi nilai maksimum baku mutu emisi.
Selama 2019, DLH DKI menjatuhkan sanksi administratif kepada 77 pelaku usaha di Ibu Kota karena terbukti tidak patuh pada ketentuan lingkungan. Salah satu bentuk pelanggaran adalah emisi gas buang ke udara yang tidak sesuai dengan baku mutu.
”Dari dua kegiatan pengawasan (inspeksi mendadak dan penegakan hukum), 77 perusahaan mendapatkan sanksi. Ada yang berupa teguran, ada juga paksaan pemerintah,” tutur Kepala DLH DKI Andono Warih saat pengawasan di industri manufaktur di Jakarta Timur, kemarin.
Jumlah itu lebih banyak dibandingkan dengan tahun 2018, yaitu 18 perusahaan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada empat sanksi untuk pelanggar ketentuan baku mutu emisi, yaitu teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan dan/atau izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta pencabutan izin lingkungan dan/atau izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Menurut Andono, belum ada perusahaan yang sampai diberi sanksi pencabutan izin lingkungan. ”Biasanya begitu mendapatkan sanksi level pertama sudah melakukan perbaikan-perbaikan,” ujarnya.
Andono menjelaskan, secara keseluruhan, ada 114 industri manufaktur di DKI yang terdata memiliki cerobong buangan gas sisa. Tahun ini, pihaknya menargetkan bisa menginspeksi 90 perusahaan di antaranya.
”Kami mendata ada 1.150 cerobong gas buang industri di Jakarta. Industri semacam itu umumnya memiliki cerobong lebih dari satu unit,” tuturnya.
Andono menyatakan, DLH berkomitmen rutin mengawasi kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan pencemaran. Pengawasan di antaranya terhadap kepatuhan pemenuhan baku mutu emisi gas buang ke udara, tersedianya instalasi pengolahan air limbah domestik, tata kelola limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), serta kepatuhan melaporkan kegiatan pengendalian lingkungan.
Infrastruktur publik minim
Namun, di luar industri besar, kasatmata di lapangan, di Jakarta masih banyak industri kecil dan skala rumah tangga yang tersebar hingga ke tengah permukiman. Penataan dan pengawasan belum berjalan baik. Asap dan limbah pabrik tekstil, tahu-tempe, dan lainnya masih mengakrabi Ibu Kota.
Baca juga : Tata Ruang Bukan Sekedar Tata Lahan
Selain itu, sebelumnya dari berita di harian ini, sumber pencemaran udara di Jakarta selain dari gas buang industri lebih didominasi dari gas buang kendaraan bermotor. Kendaraan pribadi menjadi primadona karena terbatasnya layanan angkutan massal dan akses ke angkutan massal berupa angkutan pengumpan. Jaringan jalan reguler yang bisa digunakan sebagai akses angkutan pengumpan ke simpul angkutan massal pun sama terbatasnya.
Data dari Badan Pusat Statistik, rata-rata rasio jalan di wilayah Jabodetabek masih di bawah 12 persen dari total luas wilayahnya. Sementara pembangunan jalan tol yang memanjakan pengguna kendaraan pribadi terus digenjot.
Data dari Badan Pusat Statistik, rata-rata rasio jalan di wilayah Jabodetabek masih di bawah 12 persen dari total luas wilayahnya. Sementara pembangunan jalan tol yang memanjakan pengguna kendaraan pribadi terus digenjot.
Penertiban industri tak akan cukup mengurangi polusi jika tidak dibarengi dengan penuntasan sumber pencemar udara lainnya.