Pengunjuk rasa di Hong Kong berganti strategi dalam menyuarakan tuntutannya. Mereka memenuhi pintu kedatangan Bandara Internasional Hong Kong, Jumat (9/8/2019), untuk menarik simpati internasional melalui penumpang asing yang berada di bandara.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
HONG KONG, JUMAT — Pengunjuk rasa di Hong Kong berganti strategi dalam menyuarakan tuntutan mereka, yakni agar daerah pemerintahan khusus China itu menjadi lebih demokratis.
Terkait dengan hal itu, ratusan pengunjuk rasa memenuhi pintu kedatangan Bandara Internasional Hong Kong, Jumat (9/8/2019), untuk memulai aksi unjuk rasa tiga hari berturut-turut.
Upaya tersebut dilakukan untuk menarik simpati internasional melalui penumpang asing yang berada di bandara.
”Mohon maafkan kami atas kondisi Hong Kong yang tidak terduga saat ini. Anda telah tiba di kota yang hancur berantakan, tidak sesuai bayangan. Namun, kami akan berjuang untuk Hong Kong ini,” demikian tulisan di selebaran yang ada.
Berbagai selebaran anti-pemerintah dalam sejumlah bahasa asing juga disebarkan pengunjuk rasa. Mereka umumnya anak muda berbaju hitam dengan membawa karya seni yang menunjukkan aksi protes sejak Juni 2019.
”Kami membuat selebaran lebih dari 16 bahasa, mulai dari Jepang hingga Spanyol. Kami ingin menyampaikan pesan kepada dunia internasional bahwa kami bukan pemberontak. Kami adalah kumpulan rakyat Hong Kong yang memperjuangkan hak asasi manusia dan kemerdekaan,” ujar Charlotte Lam (16), salah satu pengunjuk rasa.
Hingga siang, petugas kepolisian tidak terlihat di kawasan bandara. Namun, Otoritas Bandara Hong Kong menyatakan bandara akan tetap beroperasi secara normal.
Suasana Hong Kong mulai memanas sebab kerusuhan terus terjadi dalam beberapa aksi protes. Peringatan bepergian ke Hong Kong telah dikeluarkan sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat dan Australia.
Sejumlah calon penumpang menyatakan tidak keberatan dengan aksi tersebut. Namun, aksi protes tersebut diharapkan tidak berakhir dengan kekacauan.
Daloy (32), calon penumpang di bandara dari Taiwan, mengatakan tidak keberatan dengan aksi protes meskipun akhirnya batal terbang. Menurut dia, penting bagi Hong Kong untuk menyuarakan demokrasi karena Taiwan juga berada dalam kondisi yang sama. China mengklaim Hong Kong dan Taiwan sebagai wilayahnya.
Aksi protes di bandara kali ini bertujuan untuk kembali menarik simpati internasional mengenai turbulensi politik yang terjadi di Hong Kong saat ini. Aksi serupa pernah dilakukan pada 26 Juli 2019.
Upaya untuk menarik simpati dunia internasional juga pernah dilakukan dengan strategi yang sedikit berbeda. Ribuan warga Hong Kong berkumpul di depan konsulat-konsulat negara anggota G-20 agar masalah demokrasi di Hong Kong dibahas dalam KTT G-20 di Jepang pada Juni 2019.
Kembali bertugas
Pemerintah Hong Kong melalui sebuah pernyataan mengatakan, mantan komisaris polisi Hong Kong, Alan Lau Yip-shing, kembali bertugas. Ia sebelumnya telah pensiun dari kepolisian.
Yip-shing merupakan pejabat kepolisian yang menangani unjuk rasa pendukung demokrasi atau yang dikenal sebagai Gerakan Payung pada 2014. Menurut pernyataan tersebut, ia akan menangani penjagaan ketertiban umum dalam sejumlah acara besar, terutama perayaan 70 tahun berdirinya Republik Rakyat China pada 1 Oktober 2019.
Kembalinya Yip-shing menunjukkan adanya keraguan terhadap kepemimpinan dalam kepolisian saat ini.
”Aksi protes yang terjadi selama ini merupakan krisis terburuk sejak Hong Kong dikembalikan ke China pada 1997. Pemerintah Pusat (China) perlu terlibat jika kekacauan terus terjadi,” kata pejabat China urusan Hong Kong, Zhang Xiaoming.
Aksi protes yang terjadi selama hampir tiga bulan ini menjadi tantangan bagi Presiden China Xi Jinping. Awal mula aksi protes adalah penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Ekstradisi yang diusulkan Pemerintah Hong Kong. Pengunjuk rasa khawatir, RUU tersebut akan membuat warga Hong Kong dapat diekstradisi ke China.
Setelah berlangsung lama, aksi protes RUU Ekstradisi kini berubah menjadi gerakan untuk menuntut demokrasi di Hong Kong. Warga Hong Kong pernah menyuarakan tuntutan serupa pada 2014.
Hong Kong menjadi bagian dari China sejak diserahkan oleh Inggris pada 1997. Sesuai perjanjian, Hong Kong akan memiliki sistem pemerintahan sendiri selama 50 tahun. (AFP/REUTERS)