Peraturan Pemerintah Perbukuan Ditunggu Masyarakat
›
Peraturan Pemerintah Perbukuan...
Iklan
Peraturan Pemerintah Perbukuan Ditunggu Masyarakat
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Peraturan Pemerintah sebagai wujud turunan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan, mendesak diterbitkan. Tanpa PP, sukar mengadaptasi dan menerapkan Undang-Undang ke dalam peraturan daerah. Akibatnya, hak penerbit, penulis, dan pembaca rawan dilanggar.
"Peraturan pemerintah (PP) masih dibahas di Istana Negara. Semoga saja Presiden Joko Widodo segera menandatanganinya," kata Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dadang Sunendar di Jakarta, Jumat (9/8/2019).
Inti dari UU Sistem Perbukuan adalah pengawasan buku oleh pemerintah, pemerintah daerah (pemda), pelaku perbukuan, dan masyarakat. Pengawasan yang dimaksud hendaknya memiliki sifat preventif sekaligus mendidik.
Sebelumnya, para penerbit seperti Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Komunitas Bambu, dan Bentang Pustaka menerangkan, pengawasan berbeda dengan sensor. Pengawasan adalah memastikan dalam proses pembuatan buku, mengikuti kaidah seperti rujukan akademik yang dapat dipertanggungjawabkan untuk buku nonfiksi. Setiap buku juga jangan sampai mengandung ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu. (Kompas, 8 Agustus 2019)
Kalangan penerbit berpendapat, belum adanya turunan dari UU Sistem Perbukuan mengakibatkan ketidakjelasan penerapan prosedur pelaporan dan pengawasan buku. UU menegaskan bahwa jika ada buku yang dianggap bermasalah oleh masyarakat bisa dilaporkan kepada polisi, kejaksaan, bisa juga Ikapi untuk kemudian dikaji kontennya. Berdasarkan hasil kajian itu, hanya pengadilan yang boleh memutuskan buku tersebut dilarang beredar.
"Pada dasarnya, masyarakat tidak boleh dipersulit dalam mendapatkan buku bermutu. Buku persebarannya harus merata dan harganya murah agar kemampuan literasi bangsa Indonesia meningkat," ujar Dadang.
Di saat yang sama, ia juga menekankan bahwa peraturan turunan juga bermaksud menghindari masyarakat bertindak main hakin sendiri terhadap buku atau penerbitan yang mereka tidak suka. Menurut Dadang, sejauh ini dari aspek sosialisasi UU Sistem Perbukuan dilakukan melalui para pejuang literasi di masyarakat. Mereka antara lain adalah guru, pustakawan, pegiat literasi, dan pengelola taman bacaan masyarakat.
Kendala
Kurun Desember 2018 hingga Juli 2019, tercatat empat peristiwa kelompok masyarakat mendatangi kegiatan literasi dan toko buku, karena dianggap an buku-buku bertema sensitif. Tiga dari empat kejadian itu berakhir dengan penyitaan buku dari lokasi.
Pengunjung memilih buku-buku koleksi Perpustakaan Umum Daerah Jakarta Selatan di kawasan Kramat Pela, Jakarta, Rabu (3/7/2019). Saat ini jumlah perpustakaan di Indonesia sebanyak 164.610 buah. Hal ini menempatkan Indonesia berada di posisi kedua perpustakaan terbanyak di dunia. Urutan pertama ditempati India dengan 323.605 perpustakaan. Namun, riset Central Connecticut State University, Amerika Serikat, yang dirilis Maret 2016 menempatkan Indonesia pada posisi kedua terbawah dari 61 negara dalam hal literasi.
Kompas/Hendra A Setyawan (HAS)
3-7-2019Wakil Ketua Komisi X DPR RI Ferdiansyah ketika dihubungi di Garut, Jawa Barat, mengatakan, Kemendikbud selaku sektor terkait UU Sistem Perbukuan harus lebih gencar lagi melakukan sosialisasi. Sosialisasi bisa dilakukan bertahap, yaitu mengutamakan menyebarluaskan pasal-pasal yang terkait langsung dengan masyarakat. Hal ini lebih cepat dan efisien dibandingkan melakukan sosialisasi keseluruhan pasal sekaligus karena terlalu banyak yang akan dicerna masyarakat.
Ia mengutarakan, penting agar masyarakat luas meminta presiden menyegerakan pengesahan PP. Pemda sebenarnya bisa mengeluarkan peraturan berbasis pasal yang bisa langsung diadaptasi di wilayah kerja mereka. Namun, jika PP terbit, ada kemungkinan pemda harus merevisi aturan mereka, jika ada poin yang berseberangan dengan PP.
"Umumnya, daripada nanti harus bekerja dua kali karena merevisi aturan, pemda memilih lebih baik menunggu hingga ada PP baru diturunkan ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota," tuturnya.
Ferdiansyah mengungkapkan, dari pengalamannya selama menjadi anggota Komisi X dan Badan Legislatif DPR, setidaknya butuh lima hingga enam tahun agar sebuah aturan nasional bisa disebarluaskan di masyarakat, itupun belum pada takaran pemahaman. Jika menunggu agar daerah mengerti maksud dan tujuan aturan, kemungkinan perlu delapan hingga sembilan tahun.
"Biasanya DPR RI melakukan evaluasi sosiasilasi UU tiga tahun setelah UU itu terbit. Jadi untuk UU Sistem Perbukuan rencananya dievaluasi tahun 2020," katanya. (DNE)