Pembiaran terhadap tanah sebagai komoditas komersial yang minim aturan membuat hak dasar warga atas ruang tinggal yang memadai semakin terpinggirkan.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembiaran terhadap tanah sebagai komoditas komersial yang minim aturan membuat hak dasar warga atas ruang tinggal yang memadai semakin terpinggirkan. Dengan harga tinggi, kepemilikan lahan di pusat-pusat kota semakin dimonopoli oleh pengembang modal besar yang berakibat pada harga tempat tinggal yang semakin tak terjangkau.
Untuk itu, dibutuhkan sebuah kebijakan khusus dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Di tingkat Provinsi DKI Jakarta, upaya untuk menyediakan perumahan terjangkau ini dimulai dari mempermudah izin lokasi dan syarat untuk mendirikan rumah susun dalam rencana detail tata ruang (RDTR) terbaru yang tengah disusun.
Kepala Dinas Cipta Karya, Pertanahan, dan Tata Ruang Provinsi DKI Jakarta Heru Hermawanto mengatakan, kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah menyediakan perumahan yang terjangkau. Perumahan yang terjangkau ini mempunyai beragam strata, dari masyarakat berpenghasilan rendah hingga tinggi.
”Semua diupayakan untuk disiapkan,” katanya di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Untuk itu, ada ketentuan khusus di RDTR yang tengah disusun. Salah satunya adalah memudahkan pembangunan rumah susun (rusun) sehingga nantinya izin lokasi pembangunan rumah susun bisa di mana saja kecuali di zona hijau dan zona biru. Rusun yang dimaksudkan terbuka untuk semua strata, dari murah hingga mewah.
Sebab, kata Heru, warga Jakarta mempunyai semua strata dan semua butuh disiapkan perumahan. Sebelumnya, rumah susun hanya bisa dibangun di zona wisma susun (WSN). Kemudahan izin lokasi ini sudah diberlakukan sejak RDTR 2014 dan izin lokasi serta syarat itu akan lebih dipermudah lagi untuk RDTR selanjutnya.
Salah satu kemudahan syarat itu, misalnya, untuk rusun bisa dibangun dengan luasan lahan hanya 3.000 meter persegi. Pembangunan rusun akan memperoleh tambahan KLB menjadi 3,5 dari KLB untuk rumah tinggal hanya 2.
Menurut Heru, dengan kemudahan ini, diharapkan ketersediaan rusun memadai sehingga bisa menahan harga kenaikan rumah di Jakarta. Untuk masyarakat berpenghasilan rendah, terdapat pula subsidi rusun, seperti program DP 0 rupiah yang juga diharapkan dapat turut menahan kenaikan harga perumahan itu.
Heru mengatakan, selama ini sudah disadari bahwa harga rumah yang naik semakin tak masuk akal di pusat kota di Jakarta membuat warga berpenghasilan menengah ke bawah semakin terusir ke pinggiran dan luar kota.
”Ini juga menjadi pembelajaran untuk warga DKI yang punya lahan di pusat kota untuk tak mudah menjual lahannya kepada pengembang,” katanya.
Konsolidasi lahan
Pihaknya juga tengah mengupayakan mendorong warga yang masih memiliki lahan di pusat kota untuk melakukan konsolidasi lahan, yaitu semacam kerja sama di antara pemilik lahan yang berdekatan untuk mengelola lahan tersebut menjadi rumah susun. Di luar negeri, konsep ini sudah berkembang dan disebut community land trust. Dengan demikian, warga pemilik lahan di pusat kota tak mudah tergoda untuk menjual lahannya.
”Jadi, yang punya lahan-lahan kecil bergabung sehingga bisa untuk membangun rumah susun komersial yang dikelola secara komunitas,” katanya.
Upaya untuk mendorong konsolidasi lahan ini tak bisa masuk dalam RDTR karena RDTR bersifat netral. Upaya ini harus didukung oleh dinas-dinas terkait, seperti kemudahan perizinan dan koordinasi dari sisi pembinaan pengelolaan rumah susun.
”Untuk pengembang swasta juga dibutuhkan kemudahan-kemudahan ini selain pengaturan yang ada di RDTR untuk mendorong semakin banyak kecukupan rumah susun di pusat Kota Jakarta,” ujarnya.
Intervensi pusat
Namun, untuk benar-benar mengatur harga lahan tak melambung di luar jangkauan warga, kebijakan pemerintah daerah saja tak cukup. Dibutuhkan intervensi dari pemerintah pusat yang mengatur harga lahan bukan sebagai komoditas bebas.
Selama ini, ujar Heru, tanah menjadi komoditas bebas yang harganya ditentukan oleh pasar sehingga harga bisa di luar kendali. ”Malaysia dan Singapura sudah mempunyai mekanisme mengatur harga lahan sehingga harganya tidak menjadi di luar kendali,” katanya.
Menurut Heru, kebijakan pembatasan harga lahan ini sudah mendesak karena lahan semakin langka. ”Lahan ini tidak ada pabriknya sehingga tidak bisa terus diproduksi. Maka, perlu ada aturan untuk pembatasan kepemilikan atau harga sehingga semua orang mempunyai kesempatan yang sama atas kepemilikan rumah atau lahan,” katanya.
Direktur Eksekutif Real Estate Indonesia (REI) Dhani Muttaqin mengatakan, kebutuhan utama bagi pengembang sebenarnya adalah kepastian kebijakan dari pemerintah. Untuk pengembangan perumahan yang terjangkau, intervensi pemerintah mutlak diperlukan. ”Sebab, harga lahan sekarang sudah sangat tinggi,” katanya.
Intervensi yang sudah ada sekarang adalah kewajiban bagi pengembang untuk juga mengembangkan rumah dengan harga terjangkau. Dengan kebijakan subsidi silang pun, kata Dhani, ini sulit diperlukan dengan harga lahan yang sudah terlalu tinggi.
Untuk itu, intervensi pemerintah adalah zonasi khusus untuk kawasan permukiman sehingga harga lahan di zona itu tak akan mengikuti harga pasaran. Intervensi lainnya adalah penyediaan tabungan lahan (land banking) pemerintah yang memadai untuk nantinya dibuat sebagai kerja sama dengan swasta untuk pembangunan hunian murah.
Sementara itu, Direktur Interim Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia Faela Sufa mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebenarnya masih sangat mungkin untuk menata ruang Jakarta dengan pola terpusat, artinya mengembangkan hunian dan transportasi terintegrasi di pusat kota. Hal ini karena masih banyak kawasan dan perkampungan di pusat Kota Jakarta yang kepadatannya rendah karena masih didominasi dengan bangunan satu lantai.
”Kawasan-kawasan ini bisa diubah menjadi hunian rumah susun sehingga bisa menampung lebih banyak orang dan transportasi yang terjangkau di dalam kota,” katanya.