Pesan Penting Dalam Napas Tangkuban Parahu
Abu vulkanik yang terlontar saat erupsi pada akhir Juli lalu menyelimuti Gunung Tangkuban Parahu di perbatasan Subang-Bandung Barat, Jawa Barat. Dalam setiap tiupan napasnya, gunung setinggi 2.084 meter di atas permukaan laut itu terus memberi pelajaran baru dan berharga bagi manusia di sekitarnya.
Lama tidur, Tangkuban Parahu kembali menggeliat. Minim informasi awal, gunung ini erupsi pada Jumat (26/7/2019) siang. Kepanikan dengan cepat menjalar, menghajar manusia di sekitarnya. Tidak hanya mereka yang ada di dekat bibir kawah, tetapi juga yang terpisah di berbagai daerah.
Yana Suryana (60), pedagang cenderamata di Taman Wisata Alam (TWA) Tangkuban Parahu, tunggang langgang meninggalkan kiosnya ketika abu membubung di udara menghitamkan angkasa. Dia bahkan tidak sempat menutup toko bajunya. Kolom abu setinggi 200 meter menjulang menutupi langit membuatnya jeri.
Pengelola TWA Tangkuban Parahu pun segera menutup kawasan wisata atas rekomendasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Sempat dibuka pada Kamis (1/8), keesokan harinya kawasan itu ditutup lagi. Tangkuban Parahu batuk kembali. Bahkan, statusnya naik dari Aktif Normal menjadi Waspada. Akibatnya, kawasan tempat Yana dan ratusan pedagang lain bekerja pun terkendala.
Namun, bagi Yana yang berjualan sejak 21 tahun lalu, semua ia terima dengan lapang dada. Ia ingin memberi kesempatan kepada Tangkuban Parahu untuk sebentar menggeliat. ”Biarkan saja gunungnya muntah dulu. Kami akan menunggu. Semoga tidak terlalu lama,” ujarnya.
Pelajaran penting
Sejarah Tangkuban Parahu tidak seaktif gunung api lain di Jawa. Tumbuh dari kaldera Gunung Sunda sekitar 90.000 tahun lalu, Tangkuban Parahu masuk tipe strato dengan ciri khas letusan freatik dan eksplosif. Meski letusan eksplosif hebat pernah terjadi sekitar 40.000 tahun lalu dengan aliran lava menutupi area 189 kilometer persegi, aktivitasnya kini diisi letusan freatik. Letusan ini melontarkan debu ditambah konsentrasi gas beracun di sekitar bibir kawah.
Meski tidak seganas dulu, tidak ada yang tahu kapan Tangkuban Parahu mengulangi fase suramnya. Letaknya yang berada dekat permukiman menjadi ancaman serius. Sedikitnya 200.000 orang tinggal dekat Tangkuban Parahu. Menghadapi jalur evakuasi dan mitigasi bencana penting disiapkan sejak dini. Jutaan wisatawan datang mendekati kawah untuk menikmati kebesarannya.
Ahli gunung api, Surono, mengatakan, keberadaan warga dan pengunjung rentan menyimpan potensi bahaya apabila tidak mengenali ancaman erupsi itu. ”Karena tidak paham tipe erupsinya, orang-orang berusaha menyelamatkan diri dengan tidak beraturan. Ini dapat menimbulkan korban jiwa, bukan karena letusan, melainkan saling tabrak karena panik,” katanya. Oleh karena itu, Surono mengingatkan pentingnya koordinasi antara pengelola kawasan wisata dan PVMBG. Salah satunya memasang tanda-tanda jalur evakuasi.
”Jika status level gunung api dinaikkan, itu bukan untuk menakut-nakuti. Namun, untuk menjaga keselamatan orang di sekitarnya, termasuk wisatawan,” ujarnya.
Bukan kali ini saja Tangkuban Parahu memberi pesan. Lama tidur sejak 2004, gunung ini bangun lagi Agustus 2012. Penyebabnya, peningkatan aktivitas kegempaan, kenaikan suhu, keberadaan gas beracun, dan munculnya asap solfatara dari Kawah Ratu, kawah utama Gunung Tangkuban Parahu. Kondisi ini membuat statusnya naik dari Aktif Normal ke Waspada, sekaligus mengingatkan banyak orang tentang bahaya senyapnya.
Saat itu, konsentrasi gas sulfur dioksida (SO2) dan hidrogen sulfida (H2S) meningkat. SO2 di sekitar Kawah Ratu tercatat 8 part per million (ppm). Jumlah itu melebihi standar kesehatan dari Standar Nasional Indonesia pada Nilai Ambang Batas Zat Kimia di Udara Tempat Kerja sebesar 2 ppm.
Kandungan gas SO2 juga terpantau di sekitar lahan parkir wisata Tangkuban Parahu atau berjarak 1 kilometer dari kawah sebesar 2 ppm. Apabila terhirup terlalu banyak, akan menimbulkan gangguan pernapasan.
Setahun kemudian, aktivitas Tangkuban Parahu meningkat kembali. Kali ini, pelajaran yang dibawanya peningkatan risiko, setidaknya dalam 30 tahun terakhir atau saat letusan terakhir pada 1983.
Ada perubahan sistem kantong magma dangkal yang dipicu anomali suhu, tekanan, dan kegempaan tektonik di sekitar gunung. Perubahan ini bisa memicu seringnya letusan freatik dan akumulasi gas beracun. Indikasi perubahan terlihat dari tiga letusan freatik pada 2013.
Letusan yang terjadi akibat naiknya uap air panas itu pernah terjadi pada Februari, Maret, dan Oktober pada lubang kawah yang sama, Kawah Ratu. Beruntung, semuanya adalah letusan freatik yang tak terlampau besar. Tak ada letusan magmatik dimuntahkan. Namun, peringatan bahaya erupsi kembali digaungkan.
Setelah mengabarkan bahaya gas beracun hingga kantung magma yang dangkal, Tangkuban Parahu pamer pola berbeda dibandingkan sebelumnya pada 2015. Statusnya juga naik dari Aktif Normal ke Waspada. Kali ini, peningkatan jumlah gempa vulkanik diikuti dengan banyaknya gempa frekuensi rendah yang ikut memengaruhi eskalasi energi kumulatifnya. Biasanya, peningkatan energi kumulatif seperti ini diikuti letusan. Namun, kali ini tidak.
Hingga status Waspadanya berakhir, Tangkuban Parahu tak erupsi. Gunung ini justru erupsi kembali pada akhir Juli, di saat-saat yang tidak terduga.
Harapan mitigasi
Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Hendra Gunawan mengatakan, tidak mudah menghadapi letusan freatik Tangkuban Parahu. Aktivitasnya naik turun setidaknya sejak erupsi pada 2013. Pada geliat aktivitas tahun 2017 dan 2018, kata Hendra, terpantau gempa uap air dan asap yang diduga disebabkan berkurangnya air tanah akibat perubahan musim. Air tanah pun terpanaskan dengan sifat erupsi pendek. Namun, penyebab pastinya masih dalam penyelidikan.
Ke depan, karena letusan freatik sulit dipetakan penyebabnya, Hendra mengatakan, di dalam kawasan wisata perlu skenario evakuasi berdasarkan pengalaman yang terjadi. Tujuan adalah untuk menghindar dari kepanikan di kemudian hari. ”Pembahasan prosedur evakuasi harus dibicarakan semua pihak. Kesiapsiagaan petugas dan warga penting,” tuturnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil menuturkan, para pemangku kepentingan di kawasan Gunung Tangkuban Parahu, seperti pengelola taman wisata, PVMBG, serta perangkat keamanan dan desa di sekitar gunung perlu berkoordinasi untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Kewaspadaan secara ilmiah diperlukan agar semua bisa mengetahui potensi bencana dari gunung dengan pesona wisata ini.
”Ini menjadi pelajaran bagi kita bersama agar di kemudian hari masyarakat tidak terlena dengan rutinitas sehingga prosedur diabaikan. Padahal, Gunung Tangkuban Parahu adalah fenomena alam yang aktif. Jadi prosedur jarak aman dan lainnya harus jelas,” tuturnya.
Hingga Jumat (9/8), status Tangkuban Parahu masih Waspada. Namun, harapan mendapat kesabaran dan selalu belajar dari fenomena alam ini terus dipanjatkan di depan area masuk kawasan Tangkuban Parahu. Pada Senin (5/8), bersama pemuka agama setempat, puluhan pedagang sekitar kawasan wisata yang nyaris dua minggu tidak berpenghasilan menggelar doa bersama.
Ikin (39), salah seorang pedagang, mengatakan, bakal tetap mengikuti arahan petugas untuk menutup dagangan hingga area wisata benar-benar dinyatakan aman bagi masyarakat dan pengunjung. Bagi dia, Tangkuban Parahu perlu dimaklumi karena merupakan gunung yang aktif.
”Rezeki, mah, ada waktunya. Nanti juga penghasilan yang kosong karena tempat wisata ditutup akan tertutupi saat buka lagi. Yang penting keselamatan dulu, tidak mungkin kita suruh gunung berhenti erupsi,” katanya sambil tertawa.
(CHE/RTG/TAM/SEM)