PESISIR SELATAN, KOMPAS -- Ribuan ubur-ubur terdampar dan mati di Nagari Sungai Pinang, Kecamatan Koto XI Tarusan, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Fenomena ini anomali karena berlangsung berbulan-bulan. Nelayan kesulitan menangkap ikan karena banyak ubur-ubur terseret pukat.
Sejumlah nelayan yang ditemui di Nagari Sungai Pinang, Jumat (9/8/2019), mengatakan, ubur-ubur mulai muncul ke permukaan sejak empat bulan lalu. Gelombang tinggi akibat angin kencang kemudian menyeret ubur-ubur ke sekitar pesisir. Beberapa hari terakhir, jumlah yang muncul semakin banyak.
“Setiap tahun memang ada musimnya ubur-ubur muncul dan terbawa ke tepian. Sejak zaman kakek saya. Namun, tahun ini aneh, empat bulan masih ada. Biasanya cuma sebulan dalam setahun,” kata Herman (50), nelayan setempat.
Tahun ini aneh, empat bulan masih ada. Biasanya cuma sebulan dalam setahun. (Herman)
Lokasi dengan temuan ubur-ubur paling banyak berada di Pantai Erong, Nagari Sungai Pinang, sekitar 1,5 kilometer dari perkampungan nelayan. Selain itu, nelayan juga menemukan keberadaan ubur-ubur di Nagari Sungai Nyalo dan Nagari Mandeh.
Pantauan di Pantai Erong, Jumat siang, ribuan ubur-ubur terdampar dan mati. Sebagian besar ubur-ubur itu berwarna ungu. Ada pula ubur-ubur berwarna putih dan merah jambu pucat. Beberapa meter di dalam perairan, beberapa ubur-ubur masih hidup meskipun sudah lemah.
Banyaknya ubur-ubur yang muncul di sekitar pesisir dan hampir setiap hari menyulitkan para nelayan menangkap ikan. Padahal, sekitar 80 persen warga Nagari Sungai Pinang menggantungkan hidup dengan menangkap ikan.
Ubur-ubur yang bobot satuannya bisa mencapai lima kilogram sering terperangkap pukat. Akibatnya, nelayan kesulitan menarik pukat karena beban terlalu berat. “Pukat sering kami buka saja karena terlalu berat. Kami lepaskan, termasuk ikan yang sudah masuk ke jaring,” kata Jasman (44), nelayan lainnya.
Pukat sering kami buka saja karena terlalu berat. Kami lepaskan, termasuk ikan yang sudah masuk ke jaring. (Jasman)
Jasman mengaku, jarang melaut sejak kemunculan ubur-ubur di pesisir. Agar bisa memenuhi kebutuhan hidup, Jasman beralih menggarap sawah. Ia berharap masa kemunculan ubur-ubur segera berakhir.
Tim peneliti dari Kementerian Perikanan dan Kelautan Padang, Jumat sore, mulai melakukan penelitian ke Pantai Erong. Tim hendak memastikan penyebab munculnya ubur-ubur bulan (Aurelia aurita) itu dalam jangka lama di kawasan pesisir. Tim mengukur kualitas perairan dan memetakan sebaran ubur-ubur yang terdampar.
“Karena periode kemunculan ubur-ubur sudah cukup lama, kemungkinan ada sesuatu yang aneh di perairan. Itu yang hendak kami teliti, ada apa sebenarnya,” kata Ulung Jantama Wisha, peneliti dari Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir, Kementerian Kelautan dan Perikanan Padang.
Ulung mengatakan, biasanya memang ada musim ubur-ubur muncul ke permukaan untuk bermigrasi dan mencari makan. Ubur-ubur muncul saat musim panas. Selain itu, faktor lainnya bisa juga karena pengaruh lingkungan dan perubahan iklim samudra.
Ubur-ubur, kata Ulung, sangat sensitif terhadap konsentrasi oksigen dan suhu perairan. Jika kondisi habitatnya tidak ideal, ubur-ubur akan naik ke permukaan. Gelombang tinggi berpotensi menyeret ubur-ubur ke kawasan pesisir.
“Kejadian ubur-ubur terdampar dan mati massal pernah terjadi di Yogyakarta dan kawasan lainnya di pantai selatan Jawa. Analisis saya, ubur-ubur umumnya muncul di kawasan pesisir yang berhadapan dengan samudera. Kasus di Yogyakarta, ubur-ubur muncul karena pengaruh perubahan iklim Samudra Hindia,” ujar Ulung.