Embun es dijumpai di Dataran Tinggi Dieng di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, awal pekan ini. Fenomena ini cukup langka terjadi di Indonesia yang termasuk negara tropis.
Suhu di Dieng, yang memiliki ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut itu, pada awal pekan ini anjlok drastis. Senin (5/8/2019), suhu permukaan tanah di sekitar kompleks Candi Arjuna tercatat minus 10,5 derajat celsius. Pada Selasa suhunya tercatat minus 11 derajat celsius, dan pada Rabu minus 1 derajat celsius. Butiran-butiran embun di permukaan daun, di hamparan rumput, di atas meja pedagang, dan di kendaraan pun membeku menjadi es.
Kepala Stasiun Geofisika Banjarnegara Setyoajie Prayoedhie mengatakan, fenomena embun es ini terjadi antara lain karena adanya anomali cuaca ekstrem. Fenomena ini disebabkan banyak faktor dan biasa terjadi di dataran tinggi.
”Berdasarkan analisis BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), aliran massa udara di wilayah Indonesia kini didominasi angin timuran, yaitu massa udara dingin dan kering yang berasal dari Benua Australia,” katanya.
Monsoon Australia, menurut Setyoajie, diperkirakan lebih kuat dibandingkan dengan saat normal serta berpotensi mengurangi peluang pembentukan awan dan hujan di Indonesia. Dampaknya ialah pada dataran tinggi, puncak gunung, atau lereng gunung menjadi dingin secara cepat akibat kehilangan radiasi.
”Oleh karena itu, di puncak gunung bertekanan lebih tinggi dibandingkan dengan di lembah. Udara yang lebih dingin memiliki densitas (kerapatan udara) yang lebih besar, kemudian akan mengalirkan udara ke lembah. Udara dingin yang mengalir ke lembah secara signifikan mempercepat laju kondensasi uap air atau embun yang berada di bawah permukaan. Hal inilah yang dikenal sebagai embun es seperti yang terjadi di Dieng,” paparnya.
Fenomena embun es yang cukup langka itu bisa menjadi berkah karena bisa menjadi daya tarik wisatawan untuk berbondong-bondong datang ke Dieng. Di sisi lain, fenomena itu menjadi musibah karena berdampak terhadap 30 hektar tanaman kentang yang menjadi rusak akibat embun es tersebut.
”Di Dieng Kulon, tanaman kentang yang rusak sekitar 10 hektar. Di Dusun Pawuhan, Desa Karangtengah, lebih parah. Kerusakannya sekitar 20 hektar,” kata Koordinator Penyuluh Pertanian Kecamatan Batur Agus Rivai saat dihubungi dari Purwokerto, Banyumas, Jateng, Kamis (8/8/2019).
Tanaman kentang yang rusak akibat embun es tersebut mula-mula menghitam daunnya karena beku diselubungi es. Selanjutnya, jika embun es terjadi dalam beberapa hari secara berturut-turut, tanaman akan kering dan kemudian layu, bahkan membusuk sampai akar.
Dari 30 hektar lahan kentang yang rusak, diperkirakan kerugian mencapai Rp 1,5 miliar. Petani setempat menyebut fenomena embun es ini sebagai embun upas atau embun racun karena mematikan kentang. ”Tanaman yang rusak paling parah adalah yang usianya di bawah satu bulan,” kata Agus.
Meskipun demikian, sejumlah petani mengamati bahwa setelah terserang embun upas, masa tanam berikutnya panen kentang yang dihasilkan bisa berlipat ganda. Hal itu disebabkan bakteri dan hama penyerang kentang ikut mati akibat dinginnya embun es.
Dalam kondisi normal, kentang yang dapat dipanen berkisar 12-15 ton per hektar. ”Embun upas juga membunuh organisme tanaman pengganggu dan ulat kentang sehingga tanah makin subur dan hasil panen berikutnya bisa berlipat,” kata Saroji, petani kentang yang memiliki warung makan serta penginapan di Dieng.
Hal serupa disampaikan Umar, petani lainnya. Ia memilih membiarkan ladangnya begitu saja sambil menunggu serangan embun upas selesai. ”Ini proses sterilisasi alam karena hama seperti lalat dan jamur ikut mati. Yang penting sabar saja,” ujar Umar yang juga mencari nafkah dengan berjualan minuman dan makanan ringan di kompleks Candi Arjuna.
Dari catatan Kompas, pada 2018, embun es melanda Dieng pada awal Juli dan mengakibatkan sedikitnya 35 hektar tanaman kentang rusak. Saat itu, suhu di Dieng mencapai minus 4 derajat celsius. Sementara pada 2019 ini, suhu di bawah 0 derajat celsius di Dieng terjadi sejak pertengahan Mei.
Rekor terdingin
Kepala Unit Pelaksana Teknis Wisata Dieng Aryadi Darwanto menyampaikan, berdasarkan pengukuran suhu di permukaan tanah menggunakan termometer pada Senin lalu, suhunya mencapai minus 10,5 derajat celsius dan pada hari Selasa suhunya mencapai minus 11 derajat celsius dengan margin of error plus minus 1,6. ”Suhu minus 11 derajat ini merupakan rekor terdingin di Dieng,” ujarnya.
Aryadi menyampaikan, biasanya, embun beku terjadi sekitar pukul 06.00 sampai pukul 07.30. Secara umum, masyarakat setempat mencermati sejumlah tanda-tanda jika embun beku akan datang. Hal itu di antaranya cuaca cerah sehari sebelumnya hingga menjelang pagi, suhu pada malam hari turun di bawah 10 derajat celsius, serta suhu pada pagi hari pukul 05.00 mencapai 5 derajat celsius.
”Pada hari Senin dan Selasa, embun es ada di radius sekitar 1 kilometer dari kompleks Candi Arjuna. Es tampak di mobil-mobil yang diparkir di tepi jalan dan di meja-meja warung milik pedagang. Namun, pada hari Rabu, suhu minus berkisar 1-2 derajat. Ada embun es, tetapi tipis, hanya di radius 100 meter,” kata Aryadi.
Embun beku ini pun menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Dieng. Jumlah pengunjung meningkat drastis, terutama saat musim liburan. Jumlah pengunjung bisa meningkat hingga 17.000 orang pada akhir pekan dan sebanyak 5.000 orang pada hari biasa.
”Pada hari biasa, jumlah pengunjung hanya sekitar 3.000 orang, sedangkan pada akhir pekan jumlahnya sekitar 10.000 orang,” ujar Aryadi.
Dieng bersama embun es serta kekayaan budaya dan destinasi wisata alam yang unik masih diminati wisatawan. Dieng mempunyai kawah Sikidang, Puncak Sikunir, dan Telaga Warna. Pergelaran Dieng Culture Festival yang sudah berlangsung selama 10 tahun berturut-turut juga menarik ribuan pengunjung.