Hari ini 47 tahun lalu, Kompas di halaman muka memuat kabar menggembirakan dari Pesta Sukan di Singapura. Kabar itu adalah bertemunya dua kesebelasan ”Merah Putih”, yakni tim Indonesia A dan Indonesia B, di partai final. Tim Indonesia A yang diperkuat pemain-pemain terbaik di republik ini, seperti Roni Pasla, Anwar Udjang, Abdul Kadir, Iswadi Idris, Jacob Sihasale, dan Risdianto, akan berhadapan dengan Indonesia B yang juga berintikan sejumlah legenda sepak bola nasional, seperti Reni Salaki, Jusuf Bahang, Sutan Harharah, Sarman Panggabean, dan Sofjan Hadi.
Di laga pemuncak keesokan harinya, Roni Pasla dan kawan-kawan menang dengan skor tipis 2-1. Risdianto mendapat penghargaan khusus sebagai pencetak gol terbanyak turnamen dengan catatan 5 gol.
Sebelum melaju ke final, Indonesia A telah menunjukkan kelasnya sebagai calon juara. Mereka menumbangkan Jepang yang diperkuat pemain kelas dunia, K Kamamoto. Gol tunggal kemenangan Indonesia A dicetak Risdianto.
Kualitas sepak bola Indonesia pada dekade 1970-an hingga 1980-an memang menjadi salah satu yang terbaik di Asia. Kesebelasan Indonesia begitu disegani.
Pada pra-Olimpiade 1976, kesebelasan Indonesia bahkan nyaris lolos melaju ke Montreal, Kanada, sebelum kalah dalam drama adu penalti melawan Korea Utara. Tiga pemain Indonesia yang gagal mengeksekusi penalti adalah Oyong Liza, Anjas Asmara, dan Suaib Rizal.
Meski gagal ke Olimpiade, momen itu tetap dianggap sebagai salah satu tonggak penting sepak bola nasional. Coba tengok posisi Indonesia hari ini, 40-an tahun kemudian, sudah sangat jauh di bawah Jepang dan duo Korea.
Buruknya mutu kompetisi, terutama setelah peleburan tim perserikatan dan semipro pada 1994, membuat Indonesia bukan lagi kekuatan sepak bola yang diperhitungkan. Bahkan, di tingkat Asia Tenggara saja kekuatan kita sudah jauh di bawah Thailand dan Vietnam. Sebuah alarm bahaya yang tidak pernah menjadi perhatian serius dari PSSI. Sungguh menyedihkan. (JOY)