Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Timur memberlakukan sistem buka-tutup pendakian ke gunung, baik untuk tujuan wisata, penelitian maupun tujuan lain. Hal itu dilakukan menyusul banyaknya peristiwa kebakaran hutan di wilayah gunung.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Timur memberlakukan sistem buka-tutup pendakian ke gunung, baik untuk tujuan wisata, penelitian, maupun tujuan lain. Hal itu dilakukan menyusul banyaknya peristiwa kebakaran hutan di wilayah gunung. Di Jatim, frekuensi kebakaran hutan meningkat tajam selama musim kemarau.
Wakil Kepala Divisi Regional Jatim Perum Perhutani Joko Sunarto mengatakan, pemberlakuan sistem buka-tutup ini mengacu pada perkembangan kondisi terbaru atau terkini di lapangan. Apabila terjadi kebakaran di sekitar gunung yang berpotensi membahayakan pengunjung, pendakian akan ditutup sementara.
”Namun, pada kondisi normal dan tidak ada potensi terjadi kebakaran di sekitar lokasi obyek, maka wisata pendakian dibuka seperti biasa. Kendati dibuka, pengunjung harus tetap waspada, mematuhi semua larangan, serta jangan memaksakan diri,” ujar Joko Sunarto, Jumat (9/8/2019).
Sistem buka-tutup berlaku di seluruh obyek wisata pendakian gunung yang dikelola oleh Perhutani Divre Jatim. Total ada 11 gunung.
Sistem buka-tutup berlaku di seluruh obyek wisata pendakian gunung yang dikelola oleh Perhutani Divre Jatim. Totalnya ada 11 gunung yang berada di bawah kewenangan Perhutani Divre Jatim, antara lain Gunung Lawu di Magetan, Gunung Kawi di Malang, Gunung Wilis di Nganjuk, dan Gunung Panderman di Batu.
Pemberlakukan sistem buka-tutup pendakian gunung untuk melindungi keselamatan pengunjung atau wisatawan. Perhutani tidak ingin ada korban jiwa apabila terjadi kebakaran hutan karena peristiwanya tak terduga. Pada musim kemarau saat ini, potensi terjadi kebakaran hutan di gunung sangat tinggi.
Berdasarkan data Perum Perhutani Divisi Regional Jatim, sejak 13 Juli hingga 4 Agustus atau dalam rentang waktu kurang dari sebulan, terjadi 154 kebakaran hutan. Angka itu naik dua kali lipat dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya 86 kejadian selama musim kemarau 2018.
Dari 154 kejadian kebakaran hutan itu, luas area terdampak mencapai 369,53 hektar. Luas area terdampak meningkat dibandingkan dengan tahun lalu yang seluas 322 hektar. Area terdampak ini merupakan hutan produksi dengan tanaman sejenis atau rimba campur. Selain itu, ada hutan lindung dan padang alang-alang, seperti vegetasi yang terdapat di puncak gunung.
Dari 154 kejadian kebakaran hutan itu, luas area terdampak mencapai 369,53 hektar, meningkat dibandingkan dengan tahun lalu yang seluas 322 hektar.
Selain dari sisi kuantitatif, kebakaran hutan saat ini juga meningkat secara kualitatif. Indikasinya, tahun lalu tidak banyak kawasan gunung yang terbakar. Kebakaran di kawasan gunung biasanya baru terjadi pada puncak kemarau sekitar September. Akan tetapi, sekarang ini, justru banyak kawasan gunung yang terbakar, seperti Gunung Wilis, Gunung Panderman, Arjuno, dan Kawi.
Ulah manusia
Kepala Departemen Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Perum Perhutani Divre Jatim Ratmanto Trimahono menambahkan, mayoritas kebakaran hutan disebabkan oleh manusia, baik melalui perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja. Contohnya membuang puntung rokok yang masih menyala ke serasah kering.
Contoh lain, pengunjung yang membuat perapian untuk tujuan tertentu di dalam kawasan hutan lupa memastikan api benar-benar padam sebelum meninggalkan lokasi. Bisa juga pencari madu hutan yang membuat asap untuk mengalihkan perhatian lebah.
Selain itu, kemarau tahun ini lebih kering dibandingkan dengan sebelumnya. Hal itu mempermudah terjadinya kebakaran di hutan karena terdapat banyak material yang mudah terbakar di lantai hutan. Contohnya banyak serasah berupa daun kering, ranting, dan semak.
Untuk mengantisipasi kebakaran hutan, Perhutani Divre Jatim telah melakukan sosialisasi terhadap masyarakat, utamanya mereka yang tinggal di sekitar hutan dan pengunjung. Upaya lain, deteksi dini kebakaran melalui tim-tim pemantau di lapangan. Cara lain adalah menggunakan teknologi untuk memantau titik panas.
Ratmanto menambahkan, siaga kebakaran hutan telah dilakukan di 23 Kesatuan Pemangkuan Hutan. Yang disiagakan tidak hanya personel, tetapi juga sarana atau alat pemadaman, termasuk kendaraan untuk mobilisasi. Kebakaran hutan di gunung mendapatkan atensi karena penanggulangannya yang penuh tantangan. Medan terjal dan curam, akses yang minim, bahkan nyaris tidak ada, ditambah arah angin yang mudah berubah.