Sungai-sungai di Kabupaten Pulang Pisau rusak akibat penambangan emas liar. Air sungai kini tak bisa dikonsumsi lagi. Dinas kehutanan akan memeriksanya.
PULANG PISAU, KOMPAS Sungai-sungai di sekitar Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, rusak akibat penambangan emas ilegal. Para petambang berpindah dari sungai ke sungai hingga ke hulu Sungai Mangkutup yang menjadi sumber air terakhir desa sekitar.
Kompas menelusuri Sungai Kahayan, mulai dari wilayah Rungan di Kota Palangkaraya hingga Desa Tangkahen, Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau, pekan ini. Di lokasi itu, tambang emas ilegal marak. Sebagian besar dilakukan oleh pendatang.
Selain Sungai Kahayan, penambangan juga terjadi di hulu Sungai Mangkutup di perbatasan antara Desa Pangi, Tumbang Terusan, dan Tangkahen, Kabupaten Pulang Pisau. Sungai ini masuk kawasan hutan Desa Tangkahen.
Di lokasi ini, para petambang baru beraktivitas sekitar satu bulan. Mereka membawa keluarga saat menambang. Beberapa pondok baru tampak didirikan di lokasi. Rata-rata, petambang ilegal menggunakan mesin yang biasa disebut kato angkat atau alat pengisap. Mesin ini memiliki alat untuk memisahkan air dari material yang diisap.
Alat yang terbuat dari kayu itu memiliki karpet di bagian tengah. Di karpet itu, emas dan zirkon akan menempel sebelum dipisah. Zat sianida dan merkuri kerap digunakan untuk mengikat emas dan zirkon hingga menempel di karpet. Di hulu Sungai Mangkutup, para petambang tidak hanya mengisap air sungai. Mereka juga menebang pohon-pohon agar kato angkat bisa dipasang.
”Sebulan lalu, kami datang bersama polisi hutan dan orang dinas kehutanan. Saat itu, mereka belum bekerja, tetapi alatnya sudah dipasang. Sekarang, mereka bekerja terus,” ujar Ramhat Saduri (38), warga Tangkahen, Selasa (6/8/2019).
Tak bisa dikonsumsi
Ramhat mengatakan, beberapa tahun belakangan, air sungai di sekitar desanya tidak bisa dikonsumsi akibat maraknya penambangan ilegal. Sungai Mangkutup merupakan sungai terakhir yang ditambang.
Sungai Mangkutup merupakan anak Sungai Kapuas, yang mengalir dari Kabupaten Kapuas hingga Kabupaten Pulang Pisau. Sedikitnya tiga desa bergantung dari sungai ini, yaitu Desa Tangkahen, Tumbang Terusan, dan Pangi.
Seorang bekas petambang, Buyung (33), mengatakan, dalam sehari, dia bisa mendapat 5 gram emas senilai Rp 450.000 per gram. Jika menggunakan ekskavator, Buyung bisa mendapat puluhan kilogram zirkon dan 45-50 gram emas. ”Sebagian besar warga menambang karena tidak bisa menanam padi akibat larangan membakar lahan. Namun, saya tidak mau lagi. Hutan dan sungai bakal rusak karena penambangan,” kata Buyung.
Kepala UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kahayan Tengah Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Kamalludin, Kamis (8/8), menjelaskan, pihaknya pernah mengimbau agar mereka tidak menambang. Hal itu dilakukan saat timnya datang ke lokasi bersama polisi hutan dan warga Tangkahen.
”Saat itu, mereka belum bekerja. Kalau mereka bekerja, kami akan periksa lalu dilakukan pendekatan,” ucapnya. Kamalludin mengatakan, pihaknya punya tim penegakan hukum terkait aktivitas ilegal. Namun, diakui, ada kekurangan personel dan minim anggaran. ”Anggota tim hanya lima orang, yang dihadapi puluhan, bahkan ratusan orang,” katanya. (IDO)