Kakak Saya yang Brilian
Kakak saya, R (30 tahun), sejak lahir punya kecerdasan tinggi dan cenderung mendominasi lingkungan. Dia adalah penolong ibu. Ayah sering membanggakan kemampuan kakak saya tersebut dan menjadikannya model dalam keluarga.
Kakak seolah anak yang sempurna dan menyinari keluarga. Oleh karena itu, saya otomatis menjadi anak yang dinilai selalu membutuhkan bimbingan dan ditempatkan di bawah posisi kakak saya.
Saya dinilai sebagai anak yang tidak berguna, sulit diatur, dan bermasalah. Semua anggota keluarga meyakini bahwa saya adalah anak yang tidak pandai, maka apa pun yang saya raih, baik di bidang akademik maupun dalam kehidupan keseharian, tidak pernah mendapat apresiasi keluarga. Apa pun dan bagaimanapun saya berusaha meraih prestasi akademik sebaik mungkin.
Padahal, upaya saya dalam meraih prestasi optimal dilandasi daya juang dan motivasi yang sebenarnya lebih keras dibandingkan dengan usaha yang dilakukan R. Mengetahui prestasi akademik saya (L) yang terkadang optimal pun, ayah akan menyatakan pada teman-temannya, ”L memang pandai, tapi R adalah anak saya yang brilliant”.
Ungkapan itu sering dilanjutkan seperti ini: ”Saya rasa tidak ada satu anak pun yang kecerdasannya se-brilliant R.” Pada saat yang sama, predikat super yang diberikan kepada R sebagai anak perempuan paling sempurna menghambat tercapainya makna R akan dirinya sendiri secara proporsional.
Menjadi anak yang dimaknai sempurna dengan nilai yang tinggi mengganggu peluang R mendapatkan harga diri yang sehat. Itu justru menghambat diri R untuk memperoleh pandangan obyektif tentang diri sendiri, baik tentang kelebihan maupun keterbatasannya.
Sebaliknya, bila kita dinyatakan sebagai sosok yang rendah, pasti akan membuat diri kita juga kehilangan penilaian diri secara obyektif. Kita cenderung protes dan menolak sebutan yang merendahkan diri kita.
Memang R pandai, cerdas, dan kreatif. R juga seolah memiliki menara kompetensi yang tinggi. R adalah ensiklopedi berjalan. Dia mampu menjadi pembicara yang sangat menarik di setiap topik pembicaraan walaupun sebenarnya terkadang ia tidak tahu apa-apa.
Akan tetapi, ia tidak pernah mengungkapkan kelemahannya. Bahkan, dia sering bersikap seolah tidak membutuhkan bantuan orang lain. Sulit sekali bagi dirinya mengatakan kalimat, ”Saya tidak tahu.”
Perbedaan posisi saya dengan R di mata ayah dan keluarga membuat relasi persaudaraan kami kurang stabil. Bahkan, sering berlawanan kutub. Dalam keluarga, perasaan saya ditandai oleh ”R memiliki segalanya, sementara saya tidak bisa menawarkan apa pun bagi dirinya dan orang lain.”
Walaupun, tentu saja pada galibnya, tidak ada yang sempurna dalam kehidupan ini, termasuk R. Ia gagal membangun hubungan dengan lawan jenis. R tidak mampu memandang laki-laki dengan cermat. R ternyata juga tidak mampu menentukan karakter dan intensi dari kawan laki-laki yang ditemuinya.
Saya menyadari kekurangan itu. R tidak mau mengungkapkan kekurangannya itu pada anggota keluarga, sementara saya juga tidak mau menyampaikan kelemahan R itu pada keluarga besar.
Pada titik balik tertentu, R mengunjungi saya , di tempat kos di luar kota. Saat itu saya menceritakan kepadanya bahwa saya ada janji dengan seorang konselor psikologi. Tanpa pretensi apa pun, saya menawarkan R untuk memanfaatkan waktu konseling saya untuk dirinya. Saya terkejut luar biasa karena R ternyata mau menerima tawaran saya dan meminta untuk menemani dirinya berkonsultasi.
Saya mendengarkan apa yang R keluhkan, dengan mata terbelalak. Secara rinci R menyampaikan keluhannya pada konselor. R merasa tidak berdaya dan tidak mampu menilai laki-laki yang mendekatinya, dia tidak percaya diri dan merasa seperti daun kering yang melayang diterbangkan angin lalu, saat ia harus menjalin relasi kasih dengan laki-laki.
Saya terkejut mendengar keterusterangannya pada konselor tentang kelemahannya. Selain itu, R pun bersedia melakukan tugas tertulis dari konselor setelah konsultasi selesai.
Konselor menyarankan R untuk berproses agar melepas penghayatan peran sebagai ”princess” di hadapan ayah dan keluarga. Untuk itu, R perlu melakukan hal-hal berikut:
1. Memperbaiki relasi dengan ayah. Caranya: membuat posisinya berimbang dengan posisi ayah, mengutarakan kelemahan dan keterbatasan yang ia miliki dan selama ini ditutupinya. Dengan demikian, R bisa berperan sebagai manusia biasa yang punya kekurangan dan kelebihan.
2. Melatih diri untuk melihat dan menilai ayah sebagai sosok manusia biasa, yang juga punya kekurangan dan kelebihan. Dengan demikian, R dapat menempatkan posisinya sebagai perempuan biasa yang juga memiliki kemampuan memandang laki-laki secara akurat dan konkret.
3. Mengirim surat pada ayah untuk menjelaskan kekurangan dia.
4. Menulis surat pada ibu dengan isi surat yang sama dengan suratnya kepada ayah. R akhirnya mendapati kenyataan bahwa ayahnya sulit menerima isi surat tentang kelemahan dan kekurangannya. Ayah tidak segera membalas surat R.
Sementara ibu yang memang menjadi tumpuan anak-anak menceritakan keluhan emosional mampu menanggapi keluhan R secara proporsional.
R pun kemudian menyadari bahwa tampilan apa adanya dan konkret meringankan beban emosionalnya. Sebutan perempuan terpandai dan brilian serta perlakuan ayah yang membuat R merasa sebagai ”princess” ternyata membebaninya.
Perubahan sikap mental R berpengaruh pada keseluruhan iklim relasi dalam keluarga. Saat ini relasi emosional saya dan R menjadi lebih erat, perbedaan ”kutub” mulai terkikis.
Di samping itu, R pun akhirnya mampu mengatasi kesulitan menilai kawan lain jenis yang mendekati dirinya. Akhirnya, R dapat menemukan jodoh yang sesuai dengan apa yang diharapkannya tentang sosok lelaki sebagai pendamping hidupnya.