Pertumbuhan ekspor China menunjukkan hasil lebih baik ketimbang perkiraan. Namun, hal ini bukan tanda ketidakpastian telah berakhir.
Sebagaimana diberitakan harian ini, Jumat (9/8/2019), ekspor China secara tak terduga tumbuh pada Juli lalu, dipicu peningkatan pengiriman barang ke Eropa dan Asia Tenggara. Ekspor negara itu bulan lalu naik 3,3 persen secara tahunan, lebih besar daripada proyeksi yang terungkap dalam jajak pendapat oleh Reuters. Sebelumnya analis memperkirakan ekspor China pada Juli turun 2 persen setelah melemah 1,3 persen pada Juni silam.
Fakta tersebut, menurut media China, Global Times, menunjukkan ketahanan China di bidang perdagangan ternyata lebih baik ketimbang perkiraan banyak kalangan meskipun perang dagang telah memberi dampak negatif pada perdagangan internasional negara tersebut. Eksportir China diklaim berhasil melakukan penyesuaian secara cepat dan menekan dampak tarif impor yang diterapkan oleh Amerika Serikat.
Bagaimanapun, perang dagang China-AS belum berakhir. Bahkan, eskalasinya meningkat. Belum lama ini, Presiden AS Donald J Trump memutuskan untuk menerapkan tarif 10 persen atas produk China senilai 300 miliar dollar AS mulai 1 September 2019. Dengan demikian, hampir semua produk asal China yang masuk ke AS senilai 600 miliar dollar AS bakal kena tarif.
”Medan pertarungan” China dengan AS juga telah melebar, dari semula cukup meliputi perdagangan kini mulai masuk ke wilayah mata uang. Kekhawatiran terhadap terjadinya perang mata uang ini terutama muncul setelah AS menuding Beijing sebagai manipulator mata uang. Tudingan itu keluar setelah terjadi pelemahan mata uang China, yuan, ke level terendahnya sejak tahun 2008 pada awal pekan ini, yakni menembus level 7 yuan per dollar AS.
The New York Times menulis, ketika AS mendeklarasikan China sebagai manipulator mata uang, ketegangan perdagangan dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu melebar ke wilayah mata uang, dengan dampak sangat besar terhadap sistem keuangan global jika ketegangan terus meningkat. Aksi saling balas dapat terjadi dan meningkatkan kompleksitas persoalan akibat perang dagang.
Bank Sentral China telah menolak tuduhan AS. Menurut mereka, Beijing tidak akan pernah menggunakan nilai tukar sebagai alat untuk menangani sengketa perdagangan.
Situasi sulit itulah yang kini dihadapi dunia. Dikombinasikan dengan pelemahan permintaan domestik China, yang diindikasikan dengan penurunan impor 5,6 persen pada Juli, kondisi yang tak menentu diperkirakan akan terus terjadi pada masa mendatang. Maka, tak berlebihan kiranya, tetap ada harapan kuat agar AS-China selalu bersedia membuka ruang negosiasi guna meredakan ketegangan di antara mereka.