Murah dan Modern Disasar
JAKARTA, KOMPAS
Kebijakan pemerintah tak lagi mengarah pada transformasi struktural, namun menjadi transformasi ekonomi dengan mengoptimalkan infrastruktur. Transformasi ini menitikberatkan pada kegiatan ekonomi yang murah dan modern.
Dalam 5 tahun mendatang, pemerintah fokus pada pemerataan melalui reformasi agraria, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengurangan porsi investor asing dalam surat utang pemerintah berdenominasi rupiah, serta konfigurasi investasi langsung berorientasi ekspor.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyampaikan hal itu dalam seminar yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, Jumat (9/8/2019).
Menyinggung Neraca Pembayaran Indonesia triwulan II-2019 yang defisit 1,977 miliar dollar AS, Darmin menyampaikan, titik lemah utamanya adalah perdagangan. Oleh karena itu, peningkatan ekspor mesti diupayakan bukan hanya dari daya saing produk, tetapi juga dari efisiensi industri.
“Kalau kinerja ekspor melengkapi dua motor lain (konsumsi rumah tangga dan investasi), pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi,” katanya.
Wapres Kalla menyampaikan, untuk mempercepat pembangunan, Indonesia perlu pendapatan lebih tinggi yang bersumber dari ekspor dan investasi. Sumber pendapatan baru akan tercipta jika transformasi ekonomi dari negara agraris ke industri terealisasi.
"Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Perlu ada kebijakan kuat yang keras dan tegas untuk mengubah ekonomi," kata Wapres Kalla.
Menurut Wapres Kalla, sebenarnya Indonesia sudah menjalankan transformasi ekonomi. Akan tetapi, transformasi itu belum cukup, yang antara lain tercermin dari dominasi ekspor komoditas mentah.
Berbalik
Data Neraca Pembayaran yang dirilis Bank Indonesia menunjukkan, neraca pembayaran yang defisit pada triwulan II-2019 itu membalik kondisi triwulan I-2019 yang surplus 2,419 miliar dollar AS.
Defisit neraca pembayaran pada April-Juni 2019 terjadi karena defisit transaksi berjalan pada periode tersebut tidak bisa ditutup surplus transaksi modal dan finansial. Transaksi berjalan defisit 8,443 miliar dollar AS atau 3,04 persen produk domestik bruto (PDB). Adapun transaksi finansial surplus 7,051 miliar dollar AS.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko dalam siaran pers menyebutkan, prospek aliran modal asing tetap besar, yang didorong persepsi positif investor terhadap perekonomian Indonesia.
Meski demikian, Darmin menekankan, porsi investor asing dalam kepemilikan instrumen di pasar modal dan pasar keuangan akan dikurangi secara bertahap melalui pendalaman pasar keuangan.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal berpendapat, penggarapan pasar ekspor utama dan diversifikasi pasar mesti dioptimalkan. Di sisi lain, upaya meredam impor migas melalui pengalihan energi juga mesti dilakukan.
Neraca perdagangan migas pada triwulan II-2019 defisit 3,183 miliar dollar AS. Defisit ini lebih dalam dibandingkan dengan triwulan II-2018 yang sebesar 2,781 miliar dollar AS.
Faisal juga mengingatkan, pada saat pertumbuhan ekonomi global melambat, ekspor dan impor akan turun karena perdagangan juga turun.
Adapun peneliti Institute for Developmentf of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, program energi baru dan terbarukan, misalnya penggunaan campuran minyak sawit ke setiap liter solar, mesti ditingkatkan. Pelaksanaan mandatori B30 bisa dipercepat.
(KRN/CAS/FER)