Orion: Pertukaran Mata
Hari ini adalah hari yang cerah, dan karenanya kau ingin berziarah. Setelah memakai celana panjang dan kemeja putih yang bersih, akhirnya kau menuju pekuburan di pinggir kota kecilmu.
Kompas/Supriyanto Cartoons
Hari ini adalah hari yang cerah, dan karenanya kau ingin berziarah.
Setelah memakai celana panjang dan kemeja putih yang bersih, akhirnya kau menuju pekuburan di pinggir kota kecilmu. Berjalan perlahan, sambil sesekali memandang langit. Saat perjalanan menuju pekuburan, sesuatu membuatmu mengingat kejadian yang rasa-rasanya baru kemarin, atau kemarinnya lagi. Kejadian di mana tokoh kita menemuimu, dan mengatakan bahwa dirinya hendak menemui kematiannya sendiri.
Kau pun mengingat, dan menghadirkan kembali peristiwa itu di kepalamu....
Malam itu adalah malam yang cerah: rembulan purnama dan langit tak berawan. Saat itu kau sedang duduk-duduk di teras kontrakanmu yang teramat sederhana. Dari kejauhan kau menemukan bayang kedatangan tokoh kita! Ah, benar adanya, bahwa ia mencarimu.
Setelah mempersilakan tokoh kita duduk, kau memohon izin sebentar untuk masuk dan membuatkan segelas kopi. Seperti biasa pula, tokoh kita menolak hal itu, namun kau berkata bahwa obrolan tanpa minuman akan terasa kurang. Akhirnya, tokoh kita mengalah. Kau pun masuk, membuatkan kopi untuk tokoh kita dan dirimu sendiri.
— Ini kopimu.
— Terima kasih.
Cahaya perkotaan benar-benar membuat bintang di langit sedikit terlihat. Namun rasi bintang kesukaanmu—dan tokoh kita itu—tetap bisa terlihat. Rasi itu adalah Orion! Dan saat itu kau hanya memandanginya, begitu pula dengan tokoh kita. Tak ada alasan khusus mengapa tokoh kita dan dirimu menyukai rasi itu, namun kau sempat berkata bahwa dengan melihat Orion membuatmu seperti pulang—dan sampai kepada rumah.
Akhirnya, tokoh kitalah yang memulai obrolan malam itu. Memulainya dengan obrolan tentang bintang-bintang. Kau termasuk seorang yang tak percaya kepada ramalan bintang, namun kau selalu menyukai saat tokoh kita itu mengatakan tentang alam. Alam adalah tanda dan simbol dari sesuatu, ucap tokoh kita yang selalu kau hafal. Metafora adalah hal yang selalu kau sukai, entah karena apa.
Mata tokoh kita melirik ke kopi:
— Kopinya tinggal separuh.
Entah kenapa suku kata terakhir itu, menjelma kata! Masuk ke dalam dirimu dan bergemuruh begitu hebatnya. Kau pun terdiam. Sesaat kemudian, dia pun mulai menjelaskan tanda dan simbol, sampai akhirnya dia mengatakan keinginannya: Menemui kematian!
— Tidak mau hidup 1000 tahun lagi?
— Mungkin tidak. Membayangkannya saja membuatku merasa lelah.
— Tidak mau mencari makna hidup?
Mendengar tanyamu, tokoh kita tertawa pelan. Lalu, mengemukakan alasan:
— Malah, aku sedang dalam upaya menemukannya?
— Hendak kau cari dalam kematianmu?
Tokoh kita mengangguk pelan, menanggapi tanyamu.
— Tidak takut gagal?
— Kemungkinan gagal selalu ada, kan? Tapi, apa salahnya mencoba?
Kembali kau terdiam. Dia pun turut terdiam.
Angin datang membawa nyanyian yang mengingatkanmu pada masa kanak-kanakmu. Menyadari kau terhanyut pada kenangan, tokoh kita pun memandangimu penuh keteduhan—dan kau tak tahu dia mendapatkan hal itu dari mana: rasa teduh itu.
— Banyak manusia yang takut mati, menurutmu kenapa?
— Manusia itu takut kehilangan... Padahal, mereka tak pernah memiliki.
Tokoh kita tersenyum.
— Aku selalu suka mendengar jawabanmu. Tapi...
— Tapi apa?
— Manusia tak benar-benar takut mati..., yang mereka takutkan sejatinya adalah kehidupan itu sendiri.
— Kehidupanlah yang membawa manusia kepada kematian.
Entah mengapa kau menirukan gaya bicaranya ketika itu, dan menambahkan sebuah tanya di bagian akhir: Maksudmu begitu?
Tokoh kita pun mengiyakannya.
Kau tak benar-benar tahu apa yang terjadi saat itu, hanya kau dapati dirimu yang hanyut, hanyut, benar-benar hanyut, oleh suatu arus yang lembut tetapi terasa amat deras. Sungguh.
Untuk sesaat semua sunyi...
Tokoh kita pun, melepaskan sebelah matanya!!!
Kau terdiam memandang kejadian itu. Apa yang hendak dia lakukan dengan sebelah mata itu? Hendak kau tanyakan hal itu padanya, tapi belum sempat kau ucap. Dia sudah...
— Ini untukmu...
Ia mengucapkan kalimat dengan menggenggam bola mata itu. Beberapa darah masih menetes, dan dari raut wajahnya bisa kau lihat dia menahan rasa sakit dan nyeri yang sangat. Ia memberikannya padamu.
Kau bingung sesaat. Namun, segera tersadar seketika.
Kau pun menerimanya, dan menunggu penjelasan dari semua itu.
— Kau sudah membaca sajak Subagio Sastrowardoyo, kan?
Matamu terbuka lebar mendengar itu! Terbelalak!
— Kau bukan penyair!
Tokoh kita tertawa, mendengarmu berkata begitu.
— Mungkin memang begitu. Tapi, sebelum kematianku, aku ingin melihat apa yang ada di balik bola matamu, dan nyatanya tidak ada apa-apa. Menyebalkan, bukan? Dan aku, ingin memberikanmu sebuah kenang-kenangan sebagai cendera mata.
Ah! cendera mata dia bilang. Itu memang sebuah mata, ucapmu dalam hati. Kau pun menarik napas dalam-dalam! Amat dalam. Dan, kau lepaskan pula sebelah matamu...!
— Ini untukmu. Mata dibalas mata.
Tokoh kita pun menerima sebelah matamu. Kalian berdua sesaat terdiam.
Lalu tertawa! Tertawa sekencang-kencangnya. Riang! Amat riang. Seperti dua orang bocah yang menukar kelereng. Maka, kalian pasang sebelah mata itu di tempat yang kosong. Lalu, tersenyum. Tersenyum tulus. Dan kembali tertawa dengan amat riang. Ah! malam itu seolah tak seorang pun yang peduli pada kalian. Mungkin memang tak ada, tak pernah ada.
— Kau memang manusia yang menarik. Jika kehidupan setelah mati itu ada, dan mungkin memang benar adanya, aku harap kau dapat melihat dari sebelah mataku itu.
— Kau juga harus menemui kematianmu dengan kedua mata yang lengkap. Akan aku saksikan separuh dari tak terhingga! Akan aku saksikan sebuah rasa, dari mereka yang menemui kematiannya dengan bangga. Dengan kelapangan yang amat luasnya.
Setelah pertukaran yang tak pernah kau lupakan itu, tokoh kita pamit kepadamu: hendak pergi, meskipun dia lebih senang menyebutnya kembali. Maka kau pun melepaskannya.
Ah! kuburan...
Tanpa sadar, kaki itu sudah sampai di depan gerbang pemakaman kota. Kau pun masuk. Apakah tokoh kita dimakamkan di sini? Mungkin tidak, dan kemungkinan besar memang tidak. Lantas, kenapa kau ke sana? Tentu, karena langit sangat cerah dan kau tiba-tiba ingin berziarah.
Kau pandangi tiap nisan. Tiap-tiap nisan! Satu per satu. Membacanya.
Berhentilah kau pada satu kuburan, memanjatkan doa. Tak peduli siapa, atau apa yang mereka lakukan semasa hidup. Setelah selesai dengan ziarah itu, kau pandangi langit dari tanah pekuburan ini. Ah! langit masih saja cerah. Masih saja cerah.
Beberapa awan terlihat...
Kau putuskan pulang!
Sesampainya di gerbang, sesuatu memintamu kembali, melihat kuburan-kuburan itu. Menengok ke belakang. Apakah kelak, kau akan dimakamkan di sini—di kota ini? Atau, malah akan dikuburkan di tanah yang hanya menerima jenis manusia yang tak memiliki identitas, seperti kau? Manusia tanpa nama! Di manakah mereka berada nanti? Ah! Di surga tidak ada nama, kan?—Atau, malah ada? Kau selalu bertanya-tanya.
Apa tokoh kita sudah benar-benar mati? Tanyamu pada kuburan-kuburan itu, dan tentu saja tidak ada yang menjawab tanyamu. Maka, kau putuskan benar-benar pulang. Pulang yang selalu membuatmu ragu: Apakah kau benar-benar punya sesuatu yang layak disebut rumah?
Di sebuah warung, kau putuskan berhenti dan memesan kopi.
Meskipun akhirnya, kopi hanya kau pandangi saja. Kau lihat wajahmu dalam gelas kopi. Samar! Kau teringat sebuah sajak dari seorang penyair yang mati muda di akhir hayatnya. Mungkin kau hanya suka pada satu larik di bait akhir. Dulu, dan memang dulu sekali, benar-benar dulu, kau menduga: Dengan bertahan hidup, maka diri ini kian menunda kekalahan. Kekalahan yang selalu tragik. Tragik tanpa tragedi, barangkali.
Tapi hari ini, kau tahu, memenangkan seluruh permainan sudahlah cukup membuat seseorang dikatakan masuk ke dalam jurang kekalahan. Sumur yang dalam! Apakah kau sudah kalah? Mungkin iya. Mungkin juga tidak. Kau tak tahu pasti.
Kembali kau pandang kopimu. Kau temukan gelas yang separuh: kosong separuh atau isi separuh! Dan sesuatu di dalam dirimu pun merasakan gemuruh yang sama. Gemuruh sebuah ruh. Sensasi yang sama seperti malam itu.
— Apakah, Tuan...
— Bukan.
Kau menjawabnya lekas-lekas, seolah tahu pertanyaan apa yang akan dia ajukan.
— Tapi wajah Tuan sangatlah mirip dengan...
— Ya. Aku memang mirip dengannya. Dari segi apa pun, dan aku berkata jujur.
Mendengar jawabanmu, dia tertunduk. Kau tak tahu apa sebabnya. Kau bertanya amat pelan padanya:
— Apa Saudara belum tahu kalau dia sudah mati?
— Saya sudah tahu berkait hal itu.
Orang itu berkata pelan pula—dan kau rasakan ada hal yang sedang dia tahan.
— Lalu...?
— Saya mengira Tuan adalah dia. Saya dengar dia hidup kembali.
Matamu terbuka lebar!!!
Terasa nyeri pada mata yang dulu kau tukar!
Polanco S Achri lahir dan tinggal di Yogyakarta.
Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia yang berjualan buku.
Menulis prosa dan drama.