Pemerintah Indonesia dan Malaysia berkomitmen untuk terus bersama-sama melawan diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·3 menit baca
PUTRAJAYA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia dan Malaysia berkomitmen untuk terus bersama-sama melawan diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa. Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, kedua negara tidak akan diam jika negosiasi terkait sawit tak juga diindahkan.
Komitmen untuk melawan diskriminasi kelapa sawit dan produk turunannya kembali dikukuhkan dalam pertemuan bilateral antara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di Kantor Perdana Menteri Malaysia di Putrajaya, Jumat (9/8/2019).
”Persatuan dalam melawan diskriminasi sawit kembali dibahas oleh kedua pemimpin, dan beliau berdua memiliki komitmen untuk terus bersatu meneruskan perlawanan terhadap diskriminasi sawit,” ujar Menteri Luar Negeri Retno Marsudi seusai pertemuan bilateral Jokowi-Mahathir.
Pertemuan bilateral itu merupakan salah satu agenda dalam rangkaian kunjungan resmi Presiden Jokowi ke Malaysia. Kunjungan dilakukan sebagai balasan atas kunjungan PM Mahathir ke Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Juni 2018.
Terkait diskriminasi kepala sawit, lanjut Retno, sebenarnya Indonesia dan Malaysia sudah cukup membuka diri untuk melakukan negosiasi. Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia dan Malaysia, bahkan sudah sepakat membentuk kelompok kerja dengan Uni Eropa.
Kelompok kerja khusus untuk membahas kelapa sawit itu dibentuk setelah Indonesia dan Malaysia mengajukan protes keras atas kampanye hitam terhadap produk sawit oleh Uni Eropa.
Namun, sampai saat ini, belum ada kesepakatan mengenai arah serta tujuan kelompok kerja minyak sawit ASEAN-Uni Eropa. Karena itu, dalam pertemuan tingkat menteri ASEAN-Uni Eropa di Bangkok, awak Agustus, Menlu Retno meminta agar kedua belah pihak menyamakan persepsi terkait persoalan kelapa sawit.
”ASEAN-Uni Eropa sudah membentuk working group of palm oil, dan saya ingin melihat core-nya dulu, working group ini diarahkan ke mana, harus ada kesepakatan dulu. Kalau tidak ada kesepakatan, percuma,” tuturnya.
Pemerintah Indonesia juga melihat, sebenarnya ada jalan tengah yang bisa diambil untuk menyelesaikan persoalan kelapa sawit. Salah satunya adalah mengombinasikan sertifikat produk sawit yang menjadi rujukan negara-negara produsen sawit dan Uni Eropa.
Saat ini, Indonesia menggunakan ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), sementara Uni Eropa menggunakan rujukan RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil), yang merupakan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan. Semestinya Uni Eropa bisa membandingkan ketentuan dalam ISPO dan RSPO, kemudian menyempurnakan standar produksi sawit yang menjadi rujukan masing-masing.
Retno menegaskan, Indonesia dan Malaysia sudah melakukan pendekatan terbuka dengan mengajak kerja sama terkait masalah sawit. Jika tawaran kerja sama itu tetap ditolak dan justru produk sawit terus didiskriminasi, Pemerintah Indonesia dan Malaysia tidak akan diam.
Jika tawaran kerja sama itu tetap ditolak dan justru produk sawit terus didiskriminasi, Pemerintah Indonesia dan Malaysia tidak akan diam.
Masalah sawit itu juga tetap akan dimasukkan dalam negosiasi kerja sama ekonomi komprehensif (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa.
”Posisi kita sejak awal sudah jelas, bahwa dalam negosiasi CEPA, isu kelapa sawit harus ada di sana. Jadi, posisi kita very clear, very firmed,” kata Retno.
Hak anak TKI
Disampaikan sebelumnya, isu lain yang dibahas dalam pertemuan Jokowi-Mahathir adalah pemenuhan hak anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di Malaysia, terutama hak untuk mendapatkan pendidikan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang turut dalam kunjungan resmi itu mengatakan, pemerintah berupaya memenuhi hak pendidikan anak-anak TKI dengan mendirikan pusat-pusat pembelajaran berbasis komunitas atau community learning center (CLC).
Pemerintah Indonesia sudah mendirikan 294 CLC di kawasan Sabah dan Sarawak. Namun, untuk kawasan Semenanjung Malaysia, Pemerintah Indonesia masih kesulitan mendirikan CLC. Karena itulah, Presiden Jokowi meminta PM Mahathir membantu pendirian CLC di kawasan Semenanjung Malaysia.
”PM Malaysia memberikan komitmen untuk memperhatikan permintaan Indonesia, akan membantu Indonesia dalam rangka pengadaan CLC yang sangat diperlukan bagi anak-anak TKI,” ucap Retno.
Masalah perbatasan kedua negara juga menjadi tema yang dibahas dalam pertemuan. Kedua pemimpin sepakat untuk mengintensifkan negosiasi masalah perbatasan. Sebab, saat ini kedua negara masih memiliki sembilan problem perbatasan yang belum terselesaikan.
Jokowi-Mahathir juga berdiskusi tentang kerja sama mobil ASEAN. Terkait hal itu, Presiden Jokowi akan menugaskan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto untuk melakukan pembicaraan dengan Menteri Perindustrian Malaysia.