Penanganan kebocoran sumur minyak di perairan Karawang, Jawa Barat, ditargetkan rampung akhir September 2019. Setelah itu, PT Pertamina (Persero) fokus pada pemulihan.
JAKARTA, KOMPASPT Pertamina mengerahkan 2.000 personel untuk menangani kebocoran sumur minyak di perairan Karawang, Jawa Barat. Penanganan kebocoran dan tumpahan minyak ditargetkan selesai akhir September.
”Kami ingin cepat, tetapi juga tetap menjaga standar keselamatan di lapangan,” kata Direktur SDM PT Pertamina Koeshartanto Koeswiranto saat berkunjung ke Redaksi Harian Kompas, Jumat (9/8/2019).
Seperti diberitakan, kebocoran anjungan pengeboran sumur YYA-1 PHE ONWJ atau Pertamina Hulu Energi Offshore Northwest Java terjadi pada 12 Juli lalu.
Setelah kejadian tersebut, Pertamina segera fokus pada penanganan kontrol sumur, tumpahan minyak, dan masyarakat terdampak.
Sejauh ini, 2.000 orang dari Pertamina, tenaga ahli, dan TNI serta sekitar 700 warga terdampak dilibatkan untuk mengontrol tumpahan minyak. ”Masyarakat mau ikut membantu karena PHE ONWJ sudah lama beroperasi dan kami punya banyak mitra binaan. Kemudian, berdasarkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk sama-sama menjaga lingkungan,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman.
Keterlibatan masyarakat tidak dilakukan secara sukarela, tetapi dengan imbalan partisipasi yang besarannya bervariasi tergantung beban kerja. Nilainya mulai dari Rp 100.000 per hari. Imbalan tersebut bukan termasuk uang pengganti kerugian yang saat ini tengah dievaluasi oleh komite khusus.
Kehabisan uang
Dari Karawang dilaporkan, nelayan dan warga korban tumpahan minyak mulai kehabisan uang. Sejak tumpahan minyak melanda perairan dan sebagian pesisir pantai, nelayan dan warga di sana kehilangan mata pencarian. Untuk menyambung hidup, mereka pun berutang.
Komarudin (31), nelayan Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes, Karawang, sudah lebih dari tiga pekan tidak mencari ikan. Padahal, dalam sehari ia mampu memperoleh Rp 300.000 dari tangkapan. Ketiadaan pemasukan membuat ia terpaksa berutang kepada pengepul sebesar Rp 1 juta, akhir Juli lalu.
Atmaja (45), nelayan lain, juga mengeluhkan penurunan pemasukan yang drastis. Meski ikut terlibat dalam membersihkan tumpahan minyak dan diberi upah Rp 100.000 per hari, pendapatan itu belum mencukupi kebutuhan keluarganya. Ia pun terpaksa meminjam uang Rp 500.000 dari saudaranya.
Menurut Koeshartanto, penanganan dampak sosial dari kebocoran minyak tetap menjadi perhatian Pertamina. Untuk penentuan kompensasi bagi warga yang terdampak, Pertamina membentuk komite yang melibatkan pemerintah daerah dan unsur masyarakat. Fajriyah menambahkan, pada dasarnya Pertamina akan bertanggung jawab.
Adapun terkait kerugian yang dialami Pertamina akibat kebocoran sumur minyak itu, Koeshartanto mengatakan masih diinvestigasi. ”Kami libatkan pihak independen dan profesional yang bisa mengelola ini dengan baik dan meyakinkan publik,” katanya. (MEL/ERK)