Inspirasi dari Para Pemadam Api
Selama empat tahun bertugas di Palembang, meliput kebakaran lahan di Sumatera Selatan sudah seperti agenda liputan tahunan bagi saya. Pada periode Juli hingga September, titik api selalu datang. Sejumlah pengalaman seru bergelut di tengah kebakaran serta cerita inspiratif dari petugas pemadam dan masyarakat menjadi pelajaran berharga yang dapat dipetik.
Selama empat tahun bertugas di Palembang, meliput kebakaran lahan di Sumatera Selatan sudah seperti agenda liputan tahunan bagi saya. Pada periode Juli hingga September, titik api selalu datang. Sejumlah pengalaman seru bergelut di tengah kebakaran serta cerita inspiratif dari petugas pemadam dan masyarakat menjadi pelajaran berharga yang dapat dipetik.
Meliput kebakaran lahan layaknya meliput peristiwa lain. Ketika ada kabar, kita harus segera berangkat ke lokasi. Kalau tidak begitu, api segera padam dan momentum pun hilang.
Sejumlah pengalaman seru bergelut di tengah kebakaran dan cerita inspiratif dari petugas pemadam dan masyarakat menjadi pelajaran berharga yang dapat dipetik.
Jumat (2/8/2019) sore, saya mengetik berita di Kantor Kompas Perwakilan Palembang terkait konflik Empat Lawang, ketika terjadi bentrokan antara sekelompok warga dan petugas kepolisian yang menimbulkan korban luka. Saya pikir, setelah mengetik berita, saya bisa langsung pulang untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan lain. Ternyata tidak.
Pada pukul 19.15 WIB, bunyi pesan masuk di aplikasi Whatsapp terus terdengar. Penasaran, setelah saya baca pesannya, ternyata ada gempa dengan kekuatan 7,4 skala Richter yang terasa di beberapa provinsi, termasuk Bengkulu, provinsi yang menjadi salah satu wilayah liputan saya.
Kemudian, saya menghubungi beberapa teman di Bengkulu dan pihak terkait untuk melengkapi pemberitaan. Namun, belum usai berita gempa bumi, ada kabar bahwa terjadi kebakaran hebat di Kabupaten Ogan Ilir.
Beberapa video yang dikirim teman dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel memperlihatkan peristiwa kebakaran lahan yang asapnya sudah menghalangi jarak pandang di jalur lintas timur Sumatera.
Sejak rutin meliput kebakaran lahan di Sumsel, saya berkenalan dengan rekan dari sejumlah instansi, terutama BPBD Sumsel. Hal ini membantu saya mendapatkan informasi lebih cepat.
Rekaman video memperlihatkan asap kebakaran lahan yang mengepul menutupi pandangan di jalur lintas timur sumatera, jalur utama yang menghubungkan Palembang dengan Lampung.
Mobil dan truk pun melambatkan kecepatan. Beberapa anggota TNI dan BPBD Ogan Ilir pun sudah berjaga di sana. Melihat video itu, dipastikan kebakaran tersebut bukan kebakaran kecil.
Sekitar pukul 21.00 WIB, setelah berita tentang dampak gempa bumi di Bengkulu rampung, saya mempersiapkan diri berangkat ke lokasi kebakaran.
Jaket, kamera, dan botol berisi air minum saya masukkan ke dalam tas. Setelah siap, dengan menggunakan sepeda motor, saya berangkat ke lokasi kebakaran di Kecamatan Pemulutan Barat, Kabupaten Ogan Ilir, yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Palembang.
Tak sulit mencari lokasi kebakaran di gelapnya malam. Kobaran api berwarna jingga kekuningan terlihat sangat mencolok dari kejauhan. Api itu berkobar hebat diterpa dinginnya malam dan kencangnya tiupan angin.
Untuk sampai ke lokasi kebakaran tidak mudah. Sejumlah lokasi tidak bisa diakses dari darat. Beberapa anggota TNI dan BPBD pun hanya menunggu di pinggir jalan, menunggu tim pemadam datang.
Tak lama berselang, tim pemadam dari BPBD Ogan Ilir datang dengan mobil tangki. Mereka menyisir jalan. Beruntung, ada satu jalan setapak selebar 1 meter yang bisa kami jadikan akses menuju ke sana.
Dengan menggunakan cahaya dari telepon genggam, saya pun menyusuri jalan bersama petugas BPBD Ogan Ilir. Mereka membawa sejumlah alat yang tidak ringan. Bayangkan, pompa air seberat sekitar 25 kilogram atau selang dan nozzle yang berat totalnya tak kurang dari 5 kilogram harus dibawa menyusuri jalan terjal menuju kanal.
Namun, karena rata-rata petugas pemadam masih berusia muda, di bawah 25 tahun, semangat jiwa mudanya seakan tak kalah hebat dengan besarnya kobaran api. Mereka berjalan hingga 500 meter untuk mencapai titik api pertama yang letaknya hanya 100 meter dari rumah penduduk.
Seakan sudah mengerti tugas masing-masing, tanpa dikomando, salah satu dari ke-11 orang itu, Ahmad Mediansyah (24), langsung menceburkan diri ke kanal selebar 5 meter. Air merendamnya hingga pundak. Dia mencari kayu untuk mengganjal selang agar lumpur tidak ikut tersedot. Dalam hati, saya bertanya-tanya, apa dia tidak kedinginan.
Dia berendam sekitar 20 menit di sana. Sementara temannya yang lain ada yang memegang mesin pompa, ada pula yang memegang nozzle untuk mengarahkan air ke titik api. ”Sudah biasa, Kak,” kata Ahmad, saat ditanya kondisinya.
Namun, saya yakin, dia tetap kedinginan karena beberapa kali dia menggosok kedua tangannya.
Asap mengepul ke arah kami. Mata pedih, napas pun sesak. Kami mencari tempat agar tidak terpapar asap. Beberapa kali kami berpindah tempat untuk menghindari gempuran asap. Namun, asap seperti mengejar kami. Bara api beterbangan di udara dan menjadi titik api baru. Dengan cepat api meluas.
Petugas pemegang selang berjibaku menuju titik api, melewati tanaman purun dan ilalang yang tingginya mencapai 3 meter. Satu per satu titik api padam. Namun, kobaran api lebih cepat dari semprotan air. Waktu menunjukkan pukul 01.30 WIB, api belum padam sepenuhnya.
Tim memutuskan untuk menghentikan pemadaman karena kondisi lahan yang sangat gelap dan mesin pompa yang sedikit bermasalah.
Beberapa kali kami berpindah tempat untuk menghindari gempuran asap. Namun, asap seperti mengejar kami. Bara api beterbangan di udara dan menjadi titik api baru. Dengan cepat api meluas.
”Besok kita lanjutkan lagi,” kata Ketua Tim III BPBD Ogan Ilir Singgih Andi Purwanto.
Kami pulang dengan parfum asap menempel di badan. Pulang dini hari, sepeda motor pun digeber, rasa waswas menggelayut karena jalanan saat itu sangat sepi. Syukur, saya pulang dengan selamat, dengan membawa hasil berita dan foto.
Keesokan harinya, saya memberikan kabar kepada wartawan yang ada di Kabupaten Ogan Ilir. Dia kaget karena saya meliput hingga dini hari.
”Untung kamu tidak apa-apa. Beberapa waktu lalu, di jalur yang sama, ada pengendara motor yang tewas dibegal dengan lima tusukan di tubuhnya,” ucapnya.
Bulu kuduk langsung berdiri. Betapa nekatnya saya. Saya bersyukur, Tuhan masih melindungi.
Baca juga: Apa yang Saya Cecap di Negara Tersehat di Dunia
Di sisi lain, ironi juga terjadi. Beberapa orang sengaja berhenti di depan lokasi kebakaran, sekadar mendokumentasikan, lalu pergi. Bahkan, beberapa orang lainnya ”tega” berswafoto di depan petugas yang sedang berjuang memadamkan api.
Hal ini terlihat ketika kebakaran berkobar di sisi kanan dan kiri jalan tol Palembang-Indralaya. Akibat kebakaran tersebut, lahan seluas 139 hektar hangus terbakar.
Meliput di kobaran api
Tahun ini, saya sengaja meliput dari darat setelah tahun lalu lebih banyak memantau dari helikopter yang menjatuhkan bom air untuk memadamkan api yang tidak bisa dijangkau dari darat.
Ternyata, meliput dari darat jauh lebih mengasyikkan karena kita bisa melihat secara langsung aksi Satgas Penanggulangan Karhutla Sumsel saat memadamkan api.
Baca juga: Malu kepada Suku Dayak
Tidak hanya itu, dari darat juga dapat terlihat perjuangan warga yang turut berjibaku memadamkan api yang mendekati rumahnya. Solidaritas warga sangat terlihat, seperti saat warga Desa Arisan Jaya, Kecamatan Pemulutan Barat, kompak memadamkan api dengan alat seadanya, Selasa (6/8/2019). Kegigihan mereka terbayar, api pun padam.
Setelah api padam, mereka mencari tempat berteduh sembari menyeruput segelas kopi sembari berbincang ringan tentang aksi pemadaman tadi. ”Ayo, Dek, ngopi,” kata seorang warga menawarkan.
Lain waktu, saya mendekati petugas untuk mendapatkan sisi foto terbaik, melewati tingginya purun dan ilalang di semak belukar yang tumbuh di lahan semigambut dengan kedalaman 5-10 sentimeter. Apabila tidak hati-hati, bisa saja terperosok.
Trik yang saya gunakan agar tetap aman di tengah liputan adalah berdiri di dekat tim pemadam dan mengingat-ingat jalur selang agar tidak nyasar ketika api membesar.
Dari kejadian ini, saya kembali belajar. Melihat masyarakat yang saling membantu saat api semakin mendekat ke arah permukiman menunjukkan rasa simpati yang muncul tanpa pandang rupa atau status.