Kongres V PDI-P, Sepotong Kisah Perempuan ”Terkuat” di Indonesia
›
Kongres V PDI-P, Sepotong...
Iklan
Kongres V PDI-P, Sepotong Kisah Perempuan ”Terkuat” di Indonesia
Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berlangsung di Bali, 8-10 Agustus 2019, merupakan saksi kedigdayaan Megawati Soekarnoputri yang belum tertandingi. Sudah lebih dari 20 tahun lalu ia menjadi pendobrak norma konvensional dan hingga kini memastikan diri sebagai pemenang dalam pertarungan kekuasaan.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berlangsung di Bali, 8-10 Agustus 2019, merupakan saksi kedigdayaan Megawati Soekarnoputri yang belum tertandingi. Sudah lebih dari 20 tahun lalu ia menjadi pendobrak norma konvensional dan hingga kini memastikan diri sebagai pemenang dalam pertarungan kekuasaan.
Hal itu jelas tampak dari keterpilihannya kembali sebagai ketua umum partai yang sudah ia pimpin sejak 1999. Sekitar 3,2 juta pengurus yang tersebar dari dewan pimpinan pusat hingga anak ranting di tingkat rukun warga semuanya mempercayakan tampuk kepemimpinan PDI-P di pundak Megawati. Kepercayaan itu dibawa ke institusi tertinggi partai, hingga akhirnya kongres pun memilihnya kembali secara aklamasi.
Seluruh kader PDI-P sadar, lima tahun ke depan Indonesia akan menghadapi tantangan berat. Di tengah ancaman perpecahan karena politik identitas dan ideologi radikal, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang kuat, teruji dalam segala situasi. Praktis, pilihan kembali jatuh pada perempuan kelahiran 23 Januari 1947 itu.
Kekuatan di dalam diri Megawati tidak hanya diakui orang-orang sekitar, tetapi juga secara sadar ia gunakan. Di hadapan para tokoh politik nasional berpengaruh yang semuanya laki-laki, ia menyengat lawan politiknya selama 10 tahun terakhir, Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra.
”Saya itu kalau menyapa beliau dengan sebutan mas. Makanya, kalau nanti, ya, enggak tahu juga, tolonglah dekati saya,” ujar Megawati menggoda Prabowo.
Ketika mendengar ucapan tersebut, Prabowo pun berdiri dari tempat duduknya. Ia mengatakan, ”siap” sambil memberi hormat kepada Megawati.
Dalam pidato, Megawati memang tak menjelaskan maksud pernyataan tersebut. Namun, Puan Maharani, Ketua DPP PDI-P sekaligus putri kandungnya, selepas pembukaan mengatakan, hal itu terkait dengan kontestasi Pemilu 2024.
Seperti diketahui, Prabowo Subianto sudah tiga kali berturut-turut gagal saat mencalonkan diri menjadi presiden. Mulai dari Pemilu 2009, Pemilu 2014, dan Pemilu 2019.
Bukan hanya pada lawan yang berhasil dikalahkan, Megawati juga menunjukkan supremasinya atas Joko Widodo, kader PDI-P yang sukses terpilih sebagai presiden untuk periode 2014-2019 dan 2019-2024.
Ia mengunci perolehan kursi menteri bagi PDI-P di muka kongres. ”Saya meminta dengan hormat kepada Bapak Presiden, PDI-P harus masuk kabinet dengan jumlah menteri terbanyak,” ucapnya sambil bersenda gurau.
”Kalau nanti hanya dikasih empat menteri, emoh, tidak mau, tidak mau, tidak mau,” ujarnya menambahkan.
Menanggapi permintaan ketua umum partai utama pengusung dirinya itu, Joko Widodo pun tidak banyak membantah. Ia memastikan untuk memenuhinya. ”Yang jelas, PDI-P pasti yang terbanyak. Itu jaminannya saya,” ucap Joko Widodo.
Ibuisme
Perjalanan kepemimpinan Megawati telah melalui proses yang sangat panjang. Ia memulai karier politik sebagai kader PDI pada 1986 kemudian menjadi anggota DPR setahun setelahnya. Saat itu, karakternya tak terlalu menonjol. Ia dikenal sebagai politisi pendiam.
Namanya menyeruak ke panggung politik ketika 100 fungsionaris dari 70 cabang PDI mengusulkannya menjadi Ketua Umum PDI. Kemelut berkepanjangan telah memporakporandakan partai itu. Untuk membangunnya kembali, dibutuhkan tokoh karismatik untuk menyatukan mereka.
Maka, Megawati yang merupakan putri pertama Bung Karno dinilai mampu menjadi sosok yang tepat. Keberpihakannya kepada demokrasi pun menguatkan masyarakat untuk mendukungnya sebagai pembebas dari rezim Orde Baru.
”Saat itu, Ibu Mega menjadi representasi suara diam masyarakat yang tertindas rezim otoriter,” ujar Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Pada 22 Desember 1993, bertepatan dengan perayaan Hari Ibu, Megawati dikukuhkan sebagai Ketua Umum PDI. Prosesnya pun tak mudah, serangkaian upaya dilakukan unsur pemerintah untuk menggagalkannya. Sebab, kehadiran Megawati dianggap akan memunculkan kembali Soekarnoisme yang telah lama dibungkam Orde Baru.
Oleh karena itu, drama politik untuk menggembosi PDI yang dipimpin Megawati tidak pernah habis. Puncaknya adalah pengambilalihan paksa kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996. Peristiwa yang meluas menjadi beberapa kerusuhan di Jakarta itu memicu berdirinya PDI-P pada 1999.
PDI-P sukses memenangkan Pemilu 1999 dan mengantarkan Megawati menjadi wakil presiden. Dua tahun setelahnya, ia pun naik menjadi presiden kelima menggantikan Abdurrahman Wahid hingga masa jabatan habis pada 2004.
Akan tetapi, kemenangan itu tak bisa dipertahankan. Sepuluh tahun berikutnya, PDI-P terus kalah dari Partai Demokrat, hingga bangkit lagi pada 2014 dan 2019.
Eriko Sotarduga, Ketua DPP PDI-P, mengatakan, pengalaman panjang itu membentuk Megawati menjadi pemimpin visioner. Analisis dan prediksinya mengenai situasi politik nasional jarang meleset, termasuk kemenangan pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. ”Bagi kader, beliau bukan hanya ketua umum melainkan juga ibu,” ujarnya.
Hal serupa diakui Joko Widodo. Saat menyampaikan sambutan pada Kongres V PDI-P, presiden menyebut Megawati sebagai ”ibunda tercinta”.
Julia Suryakusuma, sosiolog dan penulis buku Ibuisme Negara menjelaskan, konsep ”ibu” dan ”keibuan” di Indonesia berbeda dengan mother atau motherhood di Barat. Meski ada tekanan yang kuat pada ibu secara biologis, konsep ”ibu” atau ”ibuisme”, di Indonesia, mempunyai jangkauan yang lebih luas.
Perempuan yang tidak mempunyai anak, bahkan tidak menikah, tetapi mungkin lebih tua, mempunyai posisi sosial yang penting, perempuan profesional, perempuan kaya, perempuan yang mempunyai kekuatan spiritual atau kekuatan menyembuhkan, semua disebut ”ibu”.
”Meski bersumber dari status biologi, konsep ’ibu’ di Indonesia adalah ungkapan kehormatan, pengakuan kekuatan, serta mempunyai makna ganda yang menjangkau bidang-bidang sosial dan politik. Istilah ’ibu’ (the powerful woman) menandakan emansipasi perempuan Indonesia dalam kaitannya dengan kesatuan nasional dan perjuangan menuju kemerdekaan,” kata Julia (Kompas, 5/1/1994).
Oleh karena itu, keberadaan Megawati sejak dulu hingga kini menandakan kembalinya perempuan ke dalam kancah politik yang pernah didepolitisasi sejak 1965. Perannya juga bukan pada posisi sekunder, melainkan pengambil keputusan. Ia pun menjadi bagian dari megatrend tampilnya pemimpin politik perempuan di dunia.
Sejarawan Onghokham (alm) dalam artikel ”Mega dan Gejala Politik Asia” di Kompas (26/12/1993), menjelaskan, kemunculan sejumlah pemimpin politik di Asia Tenggara dan Asia Selatan memunculkan pola yang sama. Seluruh perempuan berpengaruh itu mewarisi karisma dari ayah atau suami mereka. Contohnya, Benazir Bhutto, Indira Gandhi, Aung San Suu Kyi, dan Corry Aquino.
Warisan karisma itu bekerja efektif untuk mendorong seseorang menjadi pemimpin. Sebab, pemimpin karismatik memang masih menjadi hal utama di kawasan Asia.
Megawati kini sudah berusia 72 tahun. Selain memimpin PDI-P lima tahun lagi, ia juga punya tugas berat, yaitu menyiapkan regenerasi. Jika ia saja telah sukses mendobrak norma konvensional hingga menempatkan dirinya sebagai perempuan terkuat, bukankah penggantinya harus jauh lebih dahsyat? Kita tunggu saja....