Urgensi Merebut Wilayah Udara Kepri dari Otoritas Singapura
›
Urgensi Merebut Wilayah Udara ...
Iklan
Urgensi Merebut Wilayah Udara Kepri dari Otoritas Singapura
Pengelolaan lalu lintas udara saat ini mengarah pada efisiensi yang nantinya dikelola per kawasan, bukan per negara. Karena itu, penting bagi Indonesia merebut kembali otoritas atas pengelolaan wilayah informasi penerbangan di Kepulauan Riau.
Oleh
sharon patricia
·5 menit baca
Pengelolaan lalu lintas udara saat ini tengah mengarah pada efisiensi yang nantinya dikelola per kawasan, bukan per negara. Oleh sebab itu, penting bagi Indonesia merebut kembali otoritas atas pengelolaan wilayah informasi penerbangan atau flight information region di Kepulauan Riau.
Apalagi, sejak 2017, Indonesia masuk kategori 1 berdasarkan audit keselamatan penerbangan internasional dengan rata-rata 81,15 persen atau jauh di atas rata-rata dunia yang hanya 62 persen. Hal itu diakui Badan Penerbangan Federal (Federal Aviation Administration/FAA) Kementerian Transportasi Amerika Serikat.
Jika Indonesia tidak mengambil alih wilayah udara Kepulauan Riau (Kepri), pengelolaan lalu lintas udara Indonesia akan berada di bawah otoritas negara lain. Negara lain yang berpotensi mengelolanya adalah Singapura, Thailand, dan Australia.
”Apabila kita tidak segera menunjukkan kemampuan mengelola wilayah udara kedaulatan NKRI, maka tidak menutup kemungkinan otoritas pengelolaan lalu lintas udara Indonesia akan diserahkan kepada Singapura, Thailand, atau Australia. Bisa dibayangkan nanti, kalau terbang dari Jakarta ke Bandung, kita harus izin ke salah satu negara tersebut,” tutur mantan Kepala Staf TNI AU (KSAU) Chappy Hakim, di Jakarta, Sabtu (10/8/2019).
Chappy menyampaikan persoalan ini dalam peluncuran bukunya yang berjudul Flight Information Region di Kepulauan Riau Wilayah Udara Kedaulatan NKRI. Melalui bukunya, Chappy berharap masyarakat memperoleh informasi yang benar dan jelas tentang masalah flight information region (FIR) di Kepri.
Adapun pembahas yang hadir dalam peluncuran buku ini antara lain Duta Besar RI untuk PBB periode 2004-2007 Makarim Wibisono, Ketua Dewan Penasihat Bali International Arbitration and Mediation Center Ida Bagus Rahmadi Supancana, dan Kolonel Penerbang (Pnb) Supri Abu.
Chappy melanjutkan, persoalannya adalah FIR di Kepri sejak 1946 masih di bawah otoritas Singapura meski bukan keinginan dari Indonesia. Saat itu, Singapura belum ada dan Indonesia pun belum menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization/ICAO).
ICAO waktu itu mendelegasikan pengelolaan FIR di Kepri kepada kolonial Inggris di Singapura. Padahal, mengacu pada Konvensi Chicago 1944, kedaulatan negara di wilayah udaranya adalah penuh dan eksklusif.
”Artinya, Indonesia berhak penuh atas wilayah udaranya tersebut dan pengelolaan oleh negara lain hanya bersifat sementara,” ujarnya.
Semestinya, lanjut Chappy, ketika Singapura berdiri sebagai sebuah negara, secara etika patut mengembalikan atau menyerahkan kembali wilayah udara Kepri kepada Indonesia. Sayangnya, wilayah yang terletak pada posisi kritis perbatasan negara malah berada di bawah kekuasaan Singapura.
”Bahkan Singapura telah menetapkan danger area Singapura di wilayah udara dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagai Naval Carrier Operation Area (WSD15) dan Naval Exercise Area (WSD45) sampai pada ketinggian FL 550 tanpa izin atau persetujuan dari Pemerintah Indonesia,” ucap Chappy.
Semestinya, ketika Singapura berdiri sebagai sebuah negara, secara etika patut mengembalikan atau menyerahkan kembali wilayah udara Kepri kepada Indonesia.
Supri Abu menyampaikan, Singapura sudah dengan leluasa menggunakan area tersebut untuk penerbangan militer dan menyebutnya traditional training area. Singapura mengklaim, sejak sekitar 1960 menggunakan area tersebut untuk berlatih militer.
”Kami dari TNI AU sudah memprotes secara berjenjang melalui pemerintah. Namun, mengapa ini bisa terus terjadi tanpa adanya protes keras dari Indonesia? Inilah salah satu dosa dari pengelolaan FIR di Indonesia,” kata Supri.
Belajar dari Kamboja
Supri mengatakan, Indonesia perlu belajar dari pengalaman Kamboja yang mampu mengambil alih FIR-nya dari Thailand. Kamboja melakukan pendekatan teknis terlebih dahulu.
Pada 2000, Kamboja membangun pelayanan navigasi internasional dan kemudian tahun berikutnya membuat working paper ke ICAO. Akhirnya, meski banyak yang menentang, atas dasar asas kedaulatan negara, Kamboja kembali memperoleh hak mengendalikan sendiri wilayah udara kedaulatannya sejak 2002.
”Langkah ini dapat dilakukan Indonesia. Dalam ICAO Annex 11 tentang Air Traffic Services dicatat, pengambilalihan FIR secara umum dapat dilakukan kapan pun oleh negara yang terkait,” katanya.
Supri menambahkan, begitu pula dalam perjanjian antara Indonesia dan Singapura mengenai pendelegasian wilayah udara kedaulatan Indonesia di kawasan Selat Malaka kepada otoritas penerbangan Singapura. Perjanjian ini dapat dibatalkan kapan pun oleh Indonesia.
Indonesia mampu
Dalam bukunya, Chappy menuliskan, sejak 2017 Indonesia masuk kategori 1 berdasarkan audit keselamatan penerbangan internasional dengan rata-rata 81,15 persen atau jauh di atas rata-rata dunia yang hanya 62 persen. Selain itu, data Airports Council International 2017 menunjukkan, Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, jauh lebih sibuk dibandingkan dengan Bandara Changi, Singapura.
”Kategori tersibuk diambil dari elemen jumlah penumpang dan jumlah penerbangan. Jelas hal ini menunjukkan kemampuan kontrol lalu lintas udara Indonesia berjalan baik,” ujarnya.
Chappy pun kembali ”menagih” janji Presiden Joko Widodo yang disampaikan dalam Instruksi Presiden Tahun 2015 melalui Menteri Perhubungan Ignasius Jonan. Indonesia harus segera mengambil alih FIR Singapura.
”Tidak ada pilihan atau interpretasi lain,” kata Chappy dengan tegas.
Dengan posisi Indonesia yang masuk kategori 1 peringkat keselamatan penerbangan dari FAA, hal itu menunjukkan Indonesia mampu mengelola FIR di Kepri secara mandiri.
Ida Bagus Rahmadi Supancana menyebutkan, untuk merebut kembali FIR di Kepri, semua pemangku kepentingan terkait harus menunjukkan kesolidan. Namun, masih ada perbedaan perspektif yang menghambat tercapainya kesepakatan.
”Masih ada yang menganggap ini hanya persoalan teknis (keselamatan), bukan persoalan kedaulatan. Perspektif ini yang harus disamakan bahwa FIR di Kepri menyangkut kedua hal tersebut dan Indonesia mampu mengelolanya,” kata Supancana.
Makarim Wibisono pun berpendapat demikian. Dengan posisi Indonesia yang sudah masuk kategori 1 peringkat keselamatan penerbangan dari FAA, hal itu menunjukkan Indonesia mampu mengelola FIR di Kepri secara mandiri.
”Persoalannya tinggal bagaimana ada keyakinan bahwa Indonesia cakap dalam mengelola FIR di Kepri. Perlu kesepakatan dari Pemerintah Indonesia untuk mewujudkannya,” ucap Makarim.