Ada Hadiah, Api Hilang
Negara ini belum juga mampu mengatasi kebakaran lahan dan hutan. Badan Restorasi Gambut telah tiga tahun dibentuk dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana kian diperkuat, tetapi kebakaran berujung kabut asap masih terjadi. Tahun ini, kabut asap telah menyambangi Kota Pekanbaru, Riau, dan Kota Pontianak, Kalimantan Tengah.
Tentu saja upaya pemerintah tidak seperti kisah mitologi Yunani tentang Sisyphus yang dihukum mendorong batu ke puncak gunung. Namun, batu kemudian menggelinding ke bawah lagi. Begitu seterusnya, terus berulang.
Mencegah kebakaran memang tak mudah. Turun-temurun petani membakar lahan saat menyiapkan ladang. Namun, seiring kian luasnya lahan gambut untuk kebun monokultur dan sistem membakar yang masif, petaka asap muncul dan berulang. Ada cerita yang patut jadi perhatian dan pelajaran dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Salah satunya pengalaman Desa Sering dan Desa Pelalawan, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, Riau, dalam tiga tahun terakhir.
Dua desa itu bertetangga dan memiliki sistem kekerabatan sosial yang sama. Satu dekade lalu, warga dua desa itu masih membakar lahan untuk menyiapkan tanaman di ladang. Pada 2015, perusahaan bubur kertas PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) mengajak beberapa desa, termasuk Desa Sering dan Desa Pelalawan, meninggalkan api dalam membuka lahan. Desa bebas api mendapat apresiasi anggaran desa Rp 100 juta. Jika masih terbakar di bawah 2 hektar, dapat dana Rp 50 juta.
Pada 2016, dua desa itu sama-sama mendapat Rp 50 juta. Pada 2017, Desa Pelalawan dan Sering pun sama-sama terbebas dari api dan mendapatkan Rp 100 juta dari PT RAPP. Seusai program penghargaan selesai, perjalanan dua desa itu berbeda. Desa Pelalawan terus terbebas dari api. Sebaliknya, Desa Sering sejak pertengahan Juli 2019 terbakar tiga kali di tiga lokasi berbeda. Kebakaran terakhir awal Agustus, yang meluas sampai 100 hektar.
Mengapa Desa Pelalawan berhasil mempertahankan status Desa Bebas Api, sedangkan tetangganya gagal? Penjelasan Darwis, Ketua Kelompok Tani Berkat Usaha, Desa Pelalawan, terlihat dari faktor pendukung keberhasilan itu. Pertama, ada tokoh Kepala Desa Pelalawan, (saat itu) Edi Arifin yang sangat tegas dan berkomitmen terhadap kebakaran lahan. Jika muncul api di lahan warga, Edi langsung turun ke lapangan.
Kedua, dibentuk organisasi kelompok tani yang membuka ladang tanpa api. Atas upaya itu, PT RAPP kembali membantu menyediakan alat berat membongkar tunggul kayu di ladang dan membuat saluran air.
Di Desa Sering, kepala desa kurang aktif membina warga peduli api. Desa itu juga memiliki kelompok tani. PT RAPP sempat membantu membersihkan ladang padi warga seluas 20 hektar dengan alat berat. Pada 2018, kisah dua desa itu berbeda tatkala banjir besar melanda. Nyaris seluruh wilayah pertanian di Desa Pelalawan dan Sering terendam air. Ladang warga gagal panen.
Bedanya, petani kelompok Desa Pelalawan bangkit dan bertanam lagi. Mereka tetap berkelompok. Saat ini, ladang desa meluas dari 20 hektar menjadi 61 hektar. Bantuan pun mengalir.
Adapun petani di Desa Sering trauma dan berhenti bercocok tanam. Ladang desa milik kelompok tani terbengkalai. Tak ada lagi aktivitas berkelompok. Musim tanam tiba, petani Desa Sering kembali bekerja sendiri-sendiri, memakai pola membakar lagi. Tak heran kebakaran terjadi lagi di desa tersebut.
Kisah berbeda di desa rawan kebakaran lahan di Riau diintervensi Badan Restorasi Gambut (BRG). Laporan LSM Pantau Gambut terhadap 10 desa yang diintervensi BRG menunjukkan beberapa kondisi.
Pertama, ada desa yang sukses mempertahankan status bebas api, seperti Desa Tanjung Leban di Kecamatan Bukit Batu, Bengkalis. Awalnya, beberapa lembaga donor membantu membangun sekat kanal di desa yang terbakar hebat seluas 2.000 hektar tahun 2014.
Peran aktif kepala desa dan Masyarakat Peduli Api di Tanjung Leban yang rutin patroli lapangan akhirnya desa itu terbebas dari api sejak 2017. Patroli itu juga dibantu perusahaan Grup Sinar Mas yang menganggarkan Rp 80 juta setahun untuk dana operasional patroli dan honor Rp 80.000 per hari untuk petugas patroli.
Di Kelurahan Teluk Makmur, Kota Dumai, ceritanya berbeda. Sejak 2017, BRG dan instansi lain membangun 10 sekat kanal. Hanya saja, peran pemerintah desa dan masyarakat minim. Berdasarkan laporan Pantau Gambut, 6 dari 10 sekat itu rusak atau tidak lagi membendung air.
Tidak heran, ketika tim Pantau Gambut turun ke Teluk Makmur, 24-26 Maret 2019, api sedang menyala hebat. Bahkan, persis di sisi kanal dan sekat kanal. Pemadaman sulit karena akses jalan tidak ada.
Atas kondisi di atas, pertanyaan mengapa Desa Sering dan Kelurahan Teluk Makmur terbakar, itu di antaranya karena lemahnya komitmen aparat desa dan ketidaksolidan warga. Lalu, kenapa warga tetap membakar? Karena tidak ada pola lain yang murah dan mudah.
Presiden Joko Widodo memang serius menangani bencana asap di Tanah Air. Namun, pembentukan BRG dan memperkuat BNPB bukan berarti langsung menghentikan bencana asap. Solusi konkret membuka lahan tanpa bakar nyaris tidak pernah berdengung.
Saat ini, solusi buka lahan tanpa bakar paling efisien menggunakan alat berat. Kalau desa harus mengadakan sendiri, hampir tak mungkin.
Antropolog Riau, M Rawa El Amady, mengatakan, upaya pemerintah dan korporasi mencegah kebakaran baru memang sebatas pada orientasi ekonomi dan laporan pencapaian pembangunan fisik semata. Padahal, keberhasilan pencegahan berada pada penanaman nilai-nilai di masyarakat.
”Masyarakat desa tidak terlalu memperhatikan isu kebakaran. Mereka terpaku pada isu konsumsi alias persoalan perut. Selain itu, ketika aparat desa berganti, sistem yang dibentuk akan goyang,” kata Rawa.
Tanpa mengabaikan kerja keras pemerintah, swasta, dan komunitas, dalam konteks penanganan kebakaran hutan dan lahan, itu masih seperti Sisyphus: kembali ”menggelindingkan batu” dari awal tiap kemarau tiba.