Morgan Stanley: Investasi Melambat, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terhambat
›
Morgan Stanley: Investasi...
Iklan
Morgan Stanley: Investasi Melambat, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Terhambat
Eskalasi tensi dagang antara Amerika Serikat dan China yang berlanjut sepanjang tahun ini berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga hanya mencapai 5 persen.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Eskalasi tensi dagang antara Amerika Serikat dan China yang berlanjut sepanjang tahun ini berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga hanya mencapai 5 persen. Perlambatan pertumbuhan ini disebabkan melambatnya investasi asing.
Dalam riset lembaga keuangan internasional Morgan Stanley bertajuk ”2019 GDP Eased on Inventory Destocking” yang dipublikasikan pada Senin (12/8/2019), perang dagang mengganggu stabilitas ekonomi global sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi negara berkembang.
Angka 5 persen ini menurun dari prediksi Morgan Stanley pada April lalu yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,3 persen. Pemerintah pun menargetkan pertumbuhan ekonomi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 mencapai 5,3 persen.
Menurut riset ini, hambatan utama yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit mencapai target disebabkan berkurangnya nilai investasi dari luar negeri akibat perlambatan ekonomi global. Padahal, di saat yang bersamaan, komponen permintaan domestik cenderung meningkat.
Hambatan utama yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit mencapai target disebabkan berkurangnya nilai investasi dari luar negeri akibat perlambatan ekonomi global.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), angka realisasi penanaman modal asing (PMA) pada triwulan II-2019 tumbuh 9,61 persen dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya. Akan tetapi, dalam empat kuartal sebelumnya, realisasi PMA selalu jatuh secara tahunan.
Pada triwulan I-2019, pertumbuhan PMA tercatat melemah -0,92 persen; triwulan IV-2018 (-11,61 persen); triwulan III-2018 (-20,23 persen); dan pada triwulan II-2018 (-12,92 persen).
Meski begitu, Indonesia bersama India dan Filipina dinilai menjadi negara di Asia yang paling minim terkena dampak perang dagang. Pasalnya, Morgan Stanley menilai basis permintaan domestik dari ketiga negara ini tidak terlalu dekat dengan rantai produksi China dan AS.
Adapun kelompok negara Asia yang rentan terkena dampak perang dagang selain China adalah Hong Kong, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Sementara, dalam riset yang berjudul ”As Tariff Risks Escalate, Self-help is Needed”, Morgan Stanley memperkirakan, pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia selain Jepang akan semakin melandai pada triwulan I-2020 dibandingkan triwulan IV-2019.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia selain Jepang pada 2019 dan 2020 cenderung melemah dari basis saat ini sebesar 5,6 persen dan 5,8 persen. Hal tersebut akan terjadi jika AS merealisasikan pengenaan tambahan tarif 10 persen pada produk impor China mulai 1 September mendatang.
Biaya investasi
Tingginya biaya investasi Indonesia yang tecermin dari rasio tambahan output dengan tambahan modal (incremental capital-output ratio/ICOR) pada 2014 tercatat sebesar 5,5. Rasio itu berada di atas Vietnam (5,2), India (4,9), Malaysia (4,6), Thailand (4,5), dan Filipina (3,7).
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, pada 2018 rata-rata negara Asia Tenggara mengalami penurunan ICOR ke kisaran 3-4, tetapi di tahun yang sama ICOR Indonesia justru melonjak hingga 6,3.
Bhima menilai tingginya ICOR menjadi masalah bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Padahal, idealnya ICOR Indonesia berada di bawah level 4 persen.
”Selain kualitas sumber daya manusia rendah, rumitnya birokrasi di Indonesia sebabkan biaya investasi tinggi,” ujarnya.
Tingginya ICOR menjadi masalah bagi Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi lebih tinggi. Padahal, idealnya ICOR Indonesia berada di bawah level 4 persen.
Menurut dia, terdapat beberapa hal yang menjadi kunci untuk menurunkan biaya investasi di dalam negeri, terutama agar pembangunan infrastruktur lebih tepat sasaran.
”Koordinasi antara tingkat pusat dan daerah perlu diperkuat untuk komitmen memberantas korupsi, pungutan liar, dan segala bentuk pemborosan birokrasi,” ujarnya.
Pemerintah, lanjut Bhima, perlu melonggarkan sejumlah hambatan mulai dari proses pembebasan lahan hingga keluhan lain yang membuat investor menunda pengerjaan proyek investasi.
Sebelumnya, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporan statistik Indeks Pembatasan Peraturan (Regulatory Restrictiveness Index/RRI) pada 8 Agustus 2019 menyebutkan, Indonesia sebagai salah satu negara dengan hambatan regulasi investasi asing langsung tertinggi di dunia, peringkat ke-67 dari 69 negara.
Nilai RRI investasi asing langsung Indonesia sebesar 0,31, jauh di atas rata-rata negara OECD yang hanya 0,07 persen. RRI investasi asing langsung dihitung dalam rentang 0-1, yang berarti semakin nilai indeks mendekati 1, hambatan regulasi tinggi atau tertutup pada investasi asing. Nilai indeks mendekati 0 semakin terbuka bagi investasi asing.
OECD mengukur hambatan regulasi investasi pada 22 sektor industri. Di Indonesia, sektor yang paling tinggi hambatan investasinya antara lain konstruksi real estat dengan nilai RRI sebesar 1, perikanan (0,735), pertambangan dan penggalian (0,589), ritel (0,540), serta media radio dan siaran televisi (0,810).
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong mengatakan, pemerintah telah menderegulasi sejumlah aturan penghambat investasi. Selain itu, pemerintah akan mengonfigurasi investasi yang fokusnya kualitas, bukan sekadar target atau nominal investasi.
”Investasi asing yang dibidik mesti berorientasi ekspor sehingga stimulus untuk perekonomian besar. Di China, dalam 20 tahun terakhir, investasi asing meningkatkan pendapatan negara dari 500 miliar dollar AS menjadi 13 triliun dollar AS per tahun,” kata dia (Kompas.id, 11/8/2019).