Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin atau 0,25 persen pada akhir Juli, menjadi 2-2,25 persen. Bukan hal yang mengagetkan karena hal ini sudah diperkirakan pelaku pasar. Tentu saja bukan sembarang perkiraan, tetapi berdasarkan beberapa kali isyarat yang disampaikan Kepala The Fed, Jerome Powell.
Namun, ada hal yang sedikit membuat gamang dalam menyikapi penurunan suku bunga itu. Beberapa media menggarisbawahi pernyataan Powel. The Washington Post, misalnya, menekankan keterangan Powell bahwa penurunan suku bunga ini bukanlah awal dari serangkaian langkah penurunan suku bunga The Fed. Adapun Reuters menambahkan, pernyataan Powell bahwa penurunan suku bunga acuan ini juga bukan hanya sekali. Penurunan suku bunga acuan The Fed pada Juli lalu ini merupakan yang pertama kalinya dalam satu dekade terakhir.
Di Indonesia, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin pada 18 Juli. Dengan keputusan itu, BI Rate yang bertahan sejak November 2018 pada posisi 6 persen turun ke 5,75 persen.
Penurunan suku bunga acuan BI ini juga sudah diperkirakan pelaku pasar. Sebab, BI dalam berbagai kesempatan menekankan langkah untuk mendahului kurva sehingga bisa diartikan akan menurunkan suku bunga acuannya sebelum The Fed menurunkan suku bunga.
Dana yang masuk ke pasar portofolio bisa datang dan pergi dengan cepat. Jika imbal hasil dinilai menjanjikan dan proyeksi perekonomian menarik, dana itu akan tinggal. Sebaliknya, jika imbal hasil dinilai tidak menarik, ditambah proyeksi perekonomian di masa mendatang kurang cerah, dana bisa pergi dengan seketika.
Mesti diakui, Indonesia masih sangat bergantung pada dana-dana asing ini. Dana yang masuk ke pasar keuangan dan pasar modal serta investasi langsung ikut menopang neraca pembayaran. Pada triwulan II-2019, transaksi berjalan Indonesia defisit 8,443 miliar dollar AS atau 3,04 persen produk domestik bruto (PDB). Defisit ini lebih dalam dibandingkan dengan triwulan I-2019, yakni 6,966 miliar dollar AS atau 2,6 persen PDB.
Pada triwulan II-2019, transaksi finansial yang terdiri dari investasi langsung, investasi portofolio, derivatif finansial, dan investasi lainnya 7,051 miliar dollar AS. Nilai ini ternyata belum dapat menutup defisit transaksi berjalan sehingga neraca pembayaran Indonesia pada triwulan II-2019 defisit 1,977 miliar dollar AS.
Bank Indonesia memperkirakan, defisit transaksi berjalan akan berkisar 2,5-3 persen PDB. Meski demikian, kondisi perekonomian global yang masih diwarnai ketidakpastian tetap menjadi risiko yang harus dihadapi dengan berbagai perhitungan dan kebijakan. Salah satu sumber ketidakpastian itu adalah perang dagang Amerika Serikat-China dan pertumbuhan perekonomian global yang melambat.
Ekonomi dunia yang pertumbuhannya melambat akan membuat gerak roda perdagangan dunia melambat. Dengan situasi negara-negara di dunia saling berkaitan dan berhubungan, kondisi ini akan membuat perdagangan negara-negara di dunia juga melambat. Dampak lebih berat akan dialami negara-negara yang masih mengandalkan komoditas sebagai produk ekspor, salah satunya Indonesia. Sebab, dengan pelambatan pertumbuhan ekonomi global yang melambat, harga komoditas juga akan turun seiring permintaan yang melemah.
Akibatnya bisa ditebak, transaksi ekspor terancam jeblok. Padahal, Indonesia masih bergantung pada impor, yang 70 persennya berupa bahan baku dan penolong. Hal ini mengganggu neraca perdagangan.
Bertahun-tahun lalu, salah satu solusi atas persoalan ini sudah diketahui, antara lain hilirisasi dan substitusi impor. Masalahnya kini bergeser, apakah solusi itu sudah dikerjakan secara optimal? (Dewi Indriastuti)