Badan Pengawas Pemilu mendorong dilakukannya revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjelang pelaksanaan Pilkada 2020. Undang-undang itu perlu disesuaikan dengan UU No 7/2017 tentang Pemilu karena terdapat sejumlah perbedaan signifikan terkait dengan pengawas pemilihan.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo
·3 menit baca
Menyongsong Pilkada 2020, sejumlah norma di dalam UU Pilkada perlu disesuaikan dengan UU Pemilu, khususnya terkait dengan badan pengawas pemilihan dan kewenanganannya.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengawas Pemilu mendorong dilakukannya revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjelang pelaksanaan Pilkada 2020. Undang-undang itu perlu disesuaikan dengan UU No 7/2017 tentang Pemilu karena terdapat sejumlah perbedaan signifikan terkait dengan pengawas pemilihan.
Perbedaan itu antara lain pada UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pilkada pengawas penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Panitia Pengawas yang dibentuk oleh Bawaslu provinsi (Pasal 1 Angka 17).
Sementara di dalam UU Pemilu disebutkan, badan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Bawaslu kabupaten/kota. Bawaslu memiliki kewenangan mengadili dan memutus sengketa administrasi pemilihan, sedangkan Panwaslu dalam UU Pilkada hanya memiliki kewenangan memberikan rekomendasi.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, menegaskan, Panwas berbeda dengan Bawaslu. Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi persoalan itu adalah harus ada undang-undang pilkada yang baru yang sesuai dengan UU Pemilihan Umum.
”Undang-undang (Pilkada) yang ada sekarang tidak bisa digunakan untuk pilkada yang akan datang,” kata Fritz saat dihubungi di Jakarta, Minggu (11/8/2019).
Undang-Undang (Pilkada) yang ada sekarang tidak bisa digunakan untuk pilkada yang akan datang.
Hal itu terjadi karena nama Panwas sudah tidak ada lagi dan sudah berubah menjadi Bawaslu kabupaten/kota. Menurut Fritz, pembentukan undang-undang baru dibutuhkan mengingat revisi terbatas UU Pilkada tidak lagi sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang ada dalam UU Pemilu.
Lebih maju
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi mengatakan, ada beberapa pengaturan di pemilu yang sudah maju seperti soal pengawasan karena telah belajar dari proses pelaksanaan pilkada. Oleh karena itu, UU Pemilu sebenarnya penyempurnaan dari proses yang ada sebelumnya.
Permasalahannya, hingga saat ini belum ada perbaikan di dalam UU Pilkada berdasarkan evaluasi dari pelaksanaan-pelaksanaan pilkada sebelumnya. Veri mencontohkan tentang pengawasan kelembagaan penyelenggaraan pemilihan.
Kelembagaan pengawasan pemilihan dalam UU Pemilu sudah diatur sebagai badan permanen. Namun, UU Pilkada masih mengatur penyelenggaraan pengawasan pemilihan di tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh badan ad hoc.
”Hal ini akan menimbulkan persoalan dalam pelaksanaan pilkada sebab tidak hanya berpengaruh terhadap teknis penyelenggaraan, tetapi juga ada konsekuensi hukum terkait dengan pengaturan seperti ini,” kata Veri.
Selain bentuk lembaga, tambahnya, ada persoalan kewenangan pengawas pemilihan. Di dalam UU Pemilu, Bawaslu kabupaten/kota berwenang menangani pelanggaran administrasi dengan sifat putusan yang final dan mengikat. Namun, di UU Pilkada, putusan Panwas berupa rekomendasi. Hal itu akan berdampak terhadap munculnya masalah dari sisi regulasi dalam penyelenggaraan pilkada nanti.
Ada persoalan kewenangan pengawas pemilihan. Di dalam UU Pemilu, Bawaslu kabupaten/kota berwenang menangani pelanggaran administrasi dengan sifat putusan yang final dan mengikat. Namun, di UU Pilkada, putusan Panwas berupa rekomendasi.
Persoalan lain ada pada pemantauan pemilihan. Pada Pemilu 2019, pendaftaran pemantau pemilihan dilakukan di Bawaslu. Begitu pula dengan pengawasannya. Ini berbeda dengan UU Pilkada, di mana pendaftaran pemantau pemilihan ada di KPU.
Terhadap persoalan-persoalan itu, menurut Veri, perlu dipilah-pilah mana aturan yang harus disesuaikan melalui revisi UU dan mana yang perlu diuji ke Mahkamah Konstitusi.
”Penyelenggara pemilu dan DPR harus duduk bersama memetakan mana regulasi yang harus diperbaiki dan mana yang bisa dijalankan,” kata Veri.