Sekalipun tahapan Pemilihan Kepala Daerah 2020 akan segera dimulai, revisi dasar hukum penyelenggaraan pemilihan tersebut masih mungkin dilakukan, bahkan ruang waktu revisi dinilai masih panjang. Ini dengan dasar tahapan pendaftaran calon kepala/wakil kepala daerah baru dilakukan pada April 2020.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan DPR sama-sama menilai penting revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Sekalipun tahapan Pemilihan Kepala Daerah 2020 akan segera dimulai, revisi dasar hukum penyelenggaraan pemilihan tersebut masih mungkin dilakukan, bahkan ruang waktu revisi dinilai masih panjang.
Dalam rencana tahapan, program, dan jadwal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang disusun oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tahapan Pilkada 2020 sebenarnya akan dimulai Oktober 2019. Artinya, tinggal tersisa sekitar dua bulan hingga tahapan pilkada serentak di 270 daerah itu dimulai.
Meski demikian, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Nihayatul Wafiroh, di Jakarta, Senin (12/8/2019), meyakini revisi Undang-Undang (UU) Pilkada masih bisa dilakukan. Bahkan, dia menilai ruang waktu untuk melakukan revisi, masih panjang.
Hal ini dengan dasar tahapan pendaftaran calon kepala/wakil kepala daerah baru dilakukan pada April 2020. Dengan demikian, revisi UU Pilkada dinilainya masih bisa dilakukan sebelum tahapan pendaftaran tersebut.
Mengenai urgensi revisi UU Pilkada, kata Nihayatul, sudah banyak desakan dari anggota-anggota DPR agar sejumlah pasal di UU Pilkada direvisi.
Nihayatul pun mempersilakan jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengusulkan pasal yang perlu direvisi.
Akan tetapi, untuk pembahasannya, sulit untuk bisa dilakukan oleh pemerintah dan DPR periode 2014-2019. Sebab, masa kerja anggota DPR periode saat ini tinggal tersisa sekitar satu bulan. Oleh karena itu, pembahasan revisi UU Pilkada baru akan dilakukan oleh pemerintah dan DPR periode 2019-2024.
”Revisi UU Pilkada ini harus masuk (terlebih dahulu) daftar panjang Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Nanti dari Prolegnas akan dispesifikkan untuk Prolegnas yang dibahas dan ditetapkan pada 2020,” ujarnya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Akmal Malik juga menyatakan pentingnya revisi UU Pilkada. Untuk itu, Kemendagri telah mulai memetakan pasal-pasal yang perlu direvisi.
Pasal yang perlu direvisi itu di antaranya terkait kewajiban cuti kepala daerah petahana saat mengikuti pilkada. Kemendagri juga mendalami usulan revisi Pasal 7 Huruf s UU Pilkada yang menyebutkan aturan mengundurkan diri bagi anggota TNI, Polri, dan pegawai negeri sipil sejak mendaftarkan diri sebagai calon kepala daerah.
”Selain persyaratan pencalonan, isu yang akan kami bahas juga terkait penyesuaian nomenklatur panwas (panitia pengawas) seperti yang didorong Bawaslu. Terkait lamanya waktu saat kampanye juga menjadi isu yang menarik dan menjadi perhatian kami,” katanya.
Sebelumnya, Bawaslu telah mendorong adanya revisi UU Pilkada untuk disesuaikan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal ini karena terdapat sejumlah perbedaan signifikan terkait pengawas pemilihan seperti yang diterangkan pada Pasal 1 Angka 17 UU Pilkada.
Dalam UU Pilkada disebutkan, pengawas penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah panitia pengawas (panwas) yang dibentuk oleh Bawaslu provinsi. Sementara dalam UU Pemilu, badan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Bawaslu kabupaten/kota.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengatakan, panwas berbeda dengan Bawaslu. Oleh karena itu, solusi untuk mengatasi persoalan tersebut harus ada UU Pilkada yang baru yang sesuai dengan UU Pemilu.
Selain Bawaslu, KPU juga mendorong revisi UU Pilkada. Salah satunya, KPU ingin agar ada aturan yang melarang mantan terpidana kasus korupsi mencalonkan diri pada pilkada.
”KPU sudah mencoba membuat peraturan tersebut tahun lalu yang tertuang dalam PKPU dan hasilnya ditolak Mahkamah Agung. Maka dengan kasus Bupati Kudus, petahana yang ditangkap KPK beberapa waktu lalu, seharusnya menjadi momentum untuk mendorong pemerintah dan DPR merevisi UU Pilkada,” ujar komisioner KPU, Viryan Aziz.