Perang saudara di Yaman memasuki babak baru setelah Dewan Transisi Selatan dibantu Uni Emirat Arab merebut Istana Presiden Yaman dan pelabuhan di Aden.
Dukungan Uni Emirat Arab (UAE) menyiratkan ada perbedaan kepentingan koalisi Arab yang dipimpin Arab Saudi di Yaman. Koalisi ini dibentuk untuk mengatasi kelompok Houthi dukungan Iran, yang telah ”mengusir” Presiden Abdurabbuh Mansour Hadi ke Arab Saudi sampai sekarang.
Pertikaian di koalisi mulai pecah pada awal 2018 ketika kelompok yang didukung Arab Saudi dan UEA terlibat pertempuran. Saat itu, Kelompok Perlawanan Selatan (SRF) Yaman menyatakan, proses penggulingan pemerintahan Hadi dimulai dan akan menggantinya dengan kabinet teknokrat. SRF pun berganti nama menjadi Dewan Transisi Selatan (STC). Pada Februari 2019, STC menguasai ibu kota sementara Yaman, Aden, setelah terlibat pertempuran dengan kelompok yang dipimpin Hadi, yang didukung Saudi.
Saudi kukuh mendukung Hadi. UEA mendukung kelompok STC pimpinan Gubernur Aden, yang dipecat Hadi, Aidarous al-Zoubeidi. Sebagai presiden, Hadi memecat banyak pejabat yang didukung UEA, seperti Perdana Menteri Yaman Khaled Mahfoud Bahah dan Komandan Pengamanan Bandara Internasional Aden Letnan Kolonel Saleh al-Omairi.
Houthi menguasai bagian utara Yaman, dan STC ingin mendirikan negara di bagian selatan. Yaman pernah terbagi dua, yakni Yaman Utara dan Yaman Selatan, sebelum bergabung menjadi Yaman pada 1990. ”Warga di selatan punya hak untuk mendirikan negara jika masyarakat internasional siap untuk mengakuinya,” ujar Zoubeidi.
Rabu (7/8/2019), menurut Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Urusan Kemanusiaan (OCHA), pertempuran di Aden menewaskan sedikitnya 40 orang dan 260 orang terluka. Pemberontak dukungan UEA menguasai semua fasilitas dan pangkalan militer serta Istana Maashiq, istana presiden di Aden. Wakil Presiden STC Hani Ali Brik di Twitter menulis, STC tetap berkomitmen dengan koalisi, tetapi tidak mau bernegosiasi di bawah tekanan. ”Sebelumnya, kami telah menyetujui gencatan senjata,” tulis Brik di Twitter.
Pertempuran di Aden membuat koalisi mundur. Saudi dan UAE harus bisa menyingkirkan perbedaan untuk bisa menguasai Yaman dari kelompok Houti. UEA mengurangi kehadiran pasukannya di Yaman menyusul protes Barat karena krisis kemanusiaan yang muncul akibat perang saudara yang diperparah serangan koalisi dalam empat tahun terakhir ini.
Diperkirakan terdapat 90.000 milisi yang setia kepada UAE di wilayah selatan Yaman. Mengingat kuatnya cengkeraman UAE dan milisi, rasanya sulit bagi Saudi untuk tidak memenuhi tuntutan STC membentuk negara di Yaman selatan.
Wajar jika Saudi langsung meminta gencatan senjata di Aden. Saudi ingin tetap mendudukkan Hadi, sebab itu pemberontakan Houthi sesegera mungkin bisa terselesaikan. Apakah koalisi akan bertahan, atau jalan apakah yang mungkin ditempuh agar Saudi tak kehilangan muka?