Seorang pengusaha di Indonesia berseloroh, ”Seandainya dampak positif perang dagang Amerika Serikat dan China diibaratkan sebagai durian runtuh, maka Vietnam yang banyak mendapatkannya. Kita cuma dapat sedikit percikan runtuhan durian tersebut!”
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
Seorang pengusaha di Indonesia berseloroh, ”Seandainya dampak positif perang dagang Amerika Serikat dan China diibaratkan sebagai durian runtuh, maka Vietnam yang banyak mendapatkannya. Kita cuma dapat sedikit percikan runtuhan durian tersebut!”
Kendati disampaikan sambil berseloroh, tetapi hal itu ada benarnya. Pada saat dua raksasa ekonomi dunia tersebut berlaga, ada harapan pelaku industri di Indonesia dapat mengisi celah pasar AS yang sebelumnya digarap China. Besaran tarif bea masuk yang dikenakan AS terhadap produk impor asal China dinilai membuka peluang tersebut.
Indikator itu terlihat dan tertangkap. Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), misalnya, mencatat peningkatan ekspor alas kaki Indonesia ke AS di tengah kondisi perang dagang AS-China yang kembali memanas.
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah diolah, ekspor alas kaki Indonesia ke AS pada Januari-Mei 2019 senilai 655,06 juta dollar AS. Angka ini naik 6,32 persen dibandingkan dengan Januari-Mei 2018 yang sebesar 616,12 juta dollar AS.
Peningkatan ekspor ke AS tersebut setidaknya menopang kinerja ekspor alas kaki Indonesia. Apalagi, pada periode Januari-Mei 2019, nilai ekspor alas kaki Indonesia ke Uni Eropa sebesar 559,07 juta dollar AS atau anjlok 25,8 persen secara tahunan.
Muncul penilaian, finalisasi negosiasi dan realisasi perjanjian kemitraan ekonomi menyeluruh antara Indonesia dan Uni Eropa dapat mengerem penurunan ekspor. Kelebihan dan kekurangan dari perjanjian tersebut, berikut efektivitasnya, patut dikaji.
Kementerian Perindustrian menilai, perang dagang China-AS dapat membuka peluang bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia untuk mengisi pasar AS.
Data yang dikutip dari Kemenperin menunjukkan, ekspor industri TPT nasional pada 2016 senilai 11,87 miliar dollar AS. Nilai ekspor TPT naik menjadi 12,59 miliar pada 2017 dan naik lagi menjadi 13,27 miliar pada 2018. Tahun ini, ekspor TPT ditargetkan 15 miliar dollar AS.
Secara kumulatif, BPS mendata, total ekspor Indonesia pada semester I-2019 senilai 80,32 miliar dollar AS atau turun 8,57 persen dibandingkan dengan semester I-2018 yang sebesar 87,86 miliar dollar AS.
Harus diakui, tidak gampang menggenjot ekspor di tengah tantangan perdagangan global. Apalagi, negara-negara tujuan ekspor utama Indonesia juga berhadapan dengan persoalan menjaga pertumbuhan ekonomi mereka di tengah ancaman pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Tidak gampang menggenjot ekspor di tengah tantangan perdagangan global.
Menurut catatan BPS, pertumbuhan ekonomi beberapa negara mitra dagang Indonesia pada triwulan II-2019 masih positif, meski melambat. China, misalnya, pada triwulan II-2019 tumbuh 6,2 persen.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara tujuan ekspor terbesar Indonesia itu melambat dibandingkan dengan triwulan II-2018 yang sebesar 6,7 persen dan triwulan I-2019 yang mencapai 6,4 persen.
Pertumbuhan ekonomi AS, sebagai negara tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia, pada triwulan II-2019 sebesar 2,3 persen.
Pertumbuhan ekonomi AS ini juga melambat dibandingkan dengan triwulan II-2018 yang sebesar 3,2 persen dan pada triwulan I-2019 yang mencapai 2,7 persen. Sebagai gambaran, pada semester I-2019, sebanyak 15,36 persen ekspor Indonesia tertuju ke China. Adapun 11,23 persen ke AS.
Alhasil, tren pelambatan pertumbuhan ekonomi, secara tahunan ataupun triwulanan, di dua negara mitra dagang utama Indonesia tersebut tentu menjadi sinyal yang patut dicermati.
Oleh karena itu, pilihan untuk mendiversifikasi pasar ekspor merupakan hal penting. Sebab, berkaitan dengan proyeksi kinerja ekspor. Ujung-ujungnya, kinerja ekspor akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. (C Anto Saptowalyono)