Kemitraan dan Kolaborasi Jadi Kunci Keberlangsungan Bisnis di Era Digital
›
Kemitraan dan Kolaborasi Jadi ...
Iklan
Kemitraan dan Kolaborasi Jadi Kunci Keberlangsungan Bisnis di Era Digital
Di era digital, pelaku bisnis dihadapkan pada tantangan untuk menjalankan model bisnis baru. Sebuah perusahaan tidak lagi hanya bisa fokus mengontrol sumber daya internal dalam rantai produksinya, tetapi juga harus mampu membangun ekosistem bisnis yang memungkinkan pelaku bisnis bisa melakukan orkestrasi atas berbagai sumber daya yang ada di luarnya.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Di era digital, pelaku bisnis dihadapkan pada tantangan untuk menjalankan model bisnis baru. Sebuah perusahaan tidak lagi hanya bisa fokus mengontrol sumber daya internal dalam rantai produksinya, tetapi juga harus mampu membangun ekosistem bisnis yang memungkinkan pelaku bisnis bisa melakukan orkestrasi atas berbagai sumber daya yang ada di luarnya.
Hal ini merupakan konsekuensi dari revolusi industri 4.0, dengan seluruh sumber daya baik manusia maupun mesin saling terhubung secara global. Demikian salah satu kesimpulan dari buku karya Guru Besar Ilmu Manajemen Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali dan tim berjudul #MO, yang diluncurkan pada Selasa (13/8/2019).
#MO didefinisikan sebagai era mobilisasi yang ditandai dengan munculnya mobilisasi berbagai isu melalui media sosial serta era orkestrasi, yaitu era kolaborasi untuk mengkreasikan nilai (value creation) sebagai dasar ekonomi produktif.
”Bila dulu value creation bersifat internal dan didapat dari aset-aset yang bisa dihitung (tangible) melalui skala ekonomis, kini justru didapat dari sisi permintaan melalui ekosistem,” kata Rhenald di Rumah Perubahan, Bekasi.
Ekosistem bisnis di era orkestrasi telah mulai dilakukan banyak perusahaan, seperti Apple, Bukalapak, ataupun Go-Jek. Perusahaan-perusahaan itu terbukti mampu menyediakan beragam layanan untuk menjaga ekosistemnya.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Rudiantara, yang hadir pada acara peluncuran buku tersebut, mengatakan, perusahaan-perusahaan unicorn mengandalkan aset yang tidak terhitung (intangible) lewat kemitraan dan kolaborasi.
”Kalau kita lihat yang namanya unicorn, mereka enggak sendirian, tetapi ada akuisisi dan kolaborasi. Itu adalah konsep bisnis digital yang digunakan start-up. Start-up bukan kumpulan modal, tapi kumpulan individu yang membawa sumber daya masing-masing,” tuturnya.
Era orkestrasi ini, menurut dia, juga menuntut pemerintah mengubah model organisasi mereka. Kementerian, misalnya, perlu menjadi fasilitator bagi masyarakat, bukan lagi hanya sebagai regulator.
”Sekarang di Kementerian Kominfo, kurang dari setengah waktu saya dipakai untuk meregulasi. Sisanya, fokus memfasilitasi masyarakat, seperti kumpul sama anak-anak muda untuk membicarakan apa yang dibutuhkan masyarakat,” ujarnya.
Gagal paham
Lebih lanjut, dalam bukunya, Rhenald menyebut, era mobilisasi dan orkestrasi merupakan bagian dari masyarakat yang saling terhubung.
Era orkestrasi menuntut pemerintah mengubah model organisasinya. Kementerian perlu menjadi fasilitator bagi masyarakat, bukan lagi hanya sebagai regulator.
Keterhubungan itu timbul karena enam pilar teknologi, yaitu internet of things (IoT), cloud computing, big data analytics, artificial intelligence, super apps, dan broadband infrastructure.
”Meskipun gejala-gejala mobilisasi dan orkestrasi tersebut kian jelas, masih ada masyarakat yang gagal paham akibat banyak teori-teori bisnis jadi usang, dan berbagai model bisnis tak lagi relevan,” ujarnya.
Era digital berpengaruh terhadap banyak hal, mulai dari marketing, komunikasi publik, pelayanan jasa publik, kepemimpinan, hingga pengelolaan ekonomi.
”Karena itulah kita membutuhkan lensa baru untuk meneropong apa yang sebenarnya tengah terjadi agar tidak terjadi gagal paham,” tutup Rhenald.