Belanja negara meningkat 75,35 persen dari Rp 1.294 triliun pada 2011 menjadi Rp 2.269 triliun pada 2018. Namun, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat, dari 6,16 persen pada 2011 menjadi 5,17 persen pada 2018.
JAKARTA, KOMPAS — Belanja negara meningkat 75,35 persen dari Rp 1.294 triliun pada 2011 menjadi Rp 2.269 triliun pada 2018. Namun, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat, dari 6,16 persen pada 2011 menjadi 5,17 persen pada 2018.
Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) itu menunjukkan peningkatan anggaran belanja negara belum optimal.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro menyampaikan, belanja negara yang dialokasikan melalui kementerian/lembaga dan transfer ke daerah belum sepenuhnya tepat sasaran.
”Belanja yang tepat sasaran adalah belanja yang punya efek bagi ekonomi secara makro. Tidak hanya mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengurangi kemiskinan dan menurunkan kesenjangan,” kata Bambang dalam seminar nasional bertajuk ”Kualitas Belanja Negara dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi dan Mengurangi Ketimpangan”, di Jakarta, Senin (12/8/2019).
Dari hasil kajian Bappenas, setiap 1 persen kenaikan belanja kementerian/lembaga memiliki andil terhadap pertumbuhan ekonomi 0,06 persen. Sementara, setiap 1 persen kenaikan transfer dana ke daerah secara agregat dapat meningkatkan 0,016 persen pertumbuhan ekonomi daerah.
Bambang menambahkan, kenaikan belanja negara belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara optimal. Pada 2017-2018, misalnya, kenaikan belanja negara 11 persen hanya memberikan andil terhadap pertumbuhan ekonomi 0,24 persen. Padahal, andil belanja negara mestinya 0,66 persen.
”Berarti selisihnya sebesar 0,42 persen adalah belanja yang belum tepat sasaran dan belum memberikan dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi,” kata Bambang.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Benedictus Raksaka Mahi, mengatakan, desentralisasi fiskal membuka tantangan efisiensi belanja pemerintah daerah untuk mencapai target-target yang ditetapkan. Oleh karena itu, perlu terobosan kebijakan untuk memperbaiki efisiensi belanja pemerintah daerah.
Lead Adviser Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Perekonomian (Prospera) Graeme Page menambahkan, salah satu aspek terpenting dalam pengelolaan anggaran adalah transparansi. Pemerintah pusat dan daerah harus memublikasikan hasil, proses, dan penggunaan anggaran kepada masyarakat.
Investasi melambat
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo di Jakarta, Senin, menyampaikan, gejolak ekonomi dunia akibat perang dagang Amerika Serikat-China menyebabkan investasi di Indonesia melambat. Hal ini dapat menghambat perkembangan industri manufaktur. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah cepat untuk mengantisipasi hal ini.
Pada triwulan II-2019, kinerja investasi tumbuh 5,01 persen, melambat dari triwulan II-2018 yakni 5,85 persen.
”Memang tumbuh 5,01 persen, tetapi investasi swasta hanya tumbuh 3,07 persen. Padahal, investasi swasta nonbangunan pernah berjaya sebelumnya dengan pertumbuhan 7-8 persen,” kata Dody.
Direktur Jenderal Ketahanan, Perwilayahan, dan Akses Industri Internasional Kementerian Perindustrian Doddy Rahadi menjelaskan, saat ini sektor manufaktur baru berkontribusi 19,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka ini tertinggal dari Malaysia, Korea Selatan, Thailand, dan China yang kontribusi manufakturnya terhadap PDB lebih dari 20 persen.
Dalam riset lembaga keuangan internasional Morgan Stanley ”2019 GDP Eased on Inventory Destocking” yang dipublikasikan Senin, perang dagang mengganggu stabilitas ekonomi global sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi negara berkembang.
Perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh 5 persen pada tahun ini, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 5,3 persen.
Menurut riset ini, hambatan utama yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia sulit mencapai target adalah investasi dari luar negeri yang berkurang akibat pelambatan pertumbuhan ekonomi global. (KRN/KEL/DIM)