Hutan Adat yang Memerdekakan
Di wilayah matahari terbenam di Kalimantan Tengah, yaitu di Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, yang berbatasan dengan Kalimantan Barat, masyarakat Dayak Tomun sejahtera dengan hutannya. Itu karena mereka masih memegang teguh prinsip sekaligus harapan menjaga hutan.
Masyarakat Dayak Tomun memang tidak lagi tinggal di satu rumah panjang atau huma betang seperti ratusan tahun lalu. Namun, mereka masih memegang teguh prinsip hidup orang Dayak, yakni mengelola dan menjaga hutan bersama-sama.
Setiap musim buah, misalnya, desa-desa di tempat ini kerap diserbu banyak pengunjung. Bahkan, hampir setiap tahun digelar festival buah. Durian, langsat, dukuh, jengkol, sawo, dan buah hutan khas Dayak lainnya boleh diambil secara cuma-cuma.
Pada musim seperti itu, banyak di antara warga Dayak Tomun yang menginap di ladang garapan mereka di hutan untuk memanen buah. ”Sudah berapa malam di sini?” kata Rintis (58), warga Desa Kubung, Kecamatan Delang, kepada Toni (35), tetangganya, saat bertemu di hutan. ”Hampir seminggu. Lumayan lima kali bawa lanjung (keranjang),” kata Toni.
Selama di hutan, Toni tidak hanya menyandau atau memungut durian jatuh di ladang garapannya. Ia juga memanen dari ladang garapan tetangganya, termasuk milik Rintis. Kondisi seperti itu sangat lazim di sana dan tidak menimbulkan konflik. Semua lebih karena spirit untuk berbagi. Berbagi merupakan cara mereka menjaga hutannya.
RK Maladi, warga Kubung lainnya, misalnya, justru mempersilakan tetangganya untuk memanen 1.200 pohon jengkol di wilayah kelola hutannya. ”Mana bisa saya panen sendiri. Sekali berbuah itu bisa 500-600 pohon. Siapa saja mau panen silakan. Ayo sama-sama kita panen,” katanya.
Di Kecamatan Delang, meski sebagian besar hutan sudah dibagi wilayah ladang garapan untuk setiap keluarga, tiap warga desa bebas memanen di wilayah mana saja. Warga tidak perlu khawatir terjadi konflik karena aturannya jelas. Siapa pun boleh memungut buah yang jatuh sendiri dari pohon. Boleh saja memanen buah di wilayah garapan warga lain, tetapi dipanen bersama-sama dan bagi hasil.
”Biar kami dibilang miskin, tetapi kami kaya akal. Akal untuk sebebas-bebasnya melestarikan dan menjaga hutan. Itu baru merdeka,” kata Edy Zacheus, Kepala Desa Kubung.
Di wilayah ini, hutan tak hanya mendatangkan keuntungan, tetapi juga menjadi bagian hidup masyarakat di sekitarnya. Hutan menjadi tempat untuk melakukan hampir seluruh upacara adat, selain di huma betang atau rumah panjang. Salah satunya ritual Babantan Laman yang digelar setiap tahun.
”Orang Dayak itu lahir dari hutan. Jadi hutan itu ibu. Setiap pohon di dalam hutan itu jadi tempat tinggal gana (roh),” ungkap Anias Mante, pemuka adat di Delang.
Hutan desa
Bagi masyarakat adat Dayak, alam bukan benda mati yang bisa dikuasai atau dieksploitasi. Selama bisa merawat alam dengan baik, alam akan memberikan keuntungan untuk manusia (Eddy Taufan D Mahar dalam artikel ”Kearifan Lokal Masyarakat Dayak Kalteng dalam Mengelola SDA” yang dimuat di Jurnal Borneo Institute tahun 2013).
Tak hanya di Lamandau, di sekitar Sungai Kahayan, tepatnya di Desa Tangkahen, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, hutan dijaga dengan baik. Warga di sekitar mematok hutannya dan menjadikannya hutan desa karena sulitnya mengubah status ke hutan adat.
Buyung (38), Kamis (8/8/2019) siang, mengikat mandau di pinggangnya. Tak lupa tali sepatu juga diikat. Sepatunya masih terdapat sisa lumpur di sana-sini. Buyung siap menuju Hutan Desa Tangkahen yang jaraknya sekitar 17 kilometer dari rumahnya.
Sepanjang 10 kilometer ia lalui menggunakan sepeda motor. Jalanan begitu kering, tak ada aspal. Hanya ada pasir putih, ranting, dan daun-daun mati. Dari tempat ia memarkir sepeda motor, Buyung dan ketiga temannya berjalan kaki sepanjang 7 kilometer. Nyaris tak ada jalan setapak. Mereka harus berjalan dengan melangkahi berbagai batang pohon, rumput berduri, hingga sekumpulan kantong semar.
Di tengah hutan, rumah betang Hutan Desa Tangkahen menyambut. Ada jembatan kecil yang sudah dihiasi bola-bola di atas pegangannya. Sekitar 500 meter dari sana ada rumah pohon yang dibangun di atas ketinggian lebih kurang 5 meter. Tempat ini menjadi salah satu wilayah ekowisata di Pulang Pisau.
Sebagian besar warga Tangkahen adalah bekas petambang liar yang kemudian dilibatkan untuk membangun hutan desa. Manfaatnya mereka petik, pikiran mereka pun berubah dari yang merusak sungai dan hutan untuk menambang menjadi menjaganya. ”Bukan untuk saya, melainkan untuk anak-anak saya dan generasi-generasi berikutnya,” kata Buyung.
Salah satu tantangan terberat masyarakat Dayak adalah tingginya deforestasi di Kalteng yang beberapa waktu lalu diganjar penghargaan ibu kota paru-paru dunia. Alih fungsi lahan dengan dalih kesejahteraan masyarakat jadi alasannya.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), tutupan hutan di Kalteng turun setiap tahun. Jika pada 1990 masih ada 11,05 juta hektar, tahun 2014 tinggal 7,8 juta hektar karena dibabat untuk beragam kepentingan. Wilayah Kalteng secara keseluruhan mencapai 15,8 juta hektar, di mana 78 persen atau 11,3 juta hektar sudah berada di area konsesi perusahaan, baik yang sudah maupun yang belum beroperasi.
Koordinator Justice, Peace, and Integrated Creation (JPIC) Kalteng, Frans Sani Lake, mengungkapkan, deforestasi membuat masyarakat Dayak tidak lagi merdeka. Pasalnya, ruang hidup masyarakat adat menjadi lebih sempit dan sesak. ”Mereka tersudut dan semakin terasing dari wilayah adat juga budayanya. Pohon ditebang, budayanya juga tertebang,” katanya.
Di satu sisi, antropolog Dayak, Marko Mahin, mengungkapkan, dalam kepercayaan Dayak, manusia bukan penguasa alam ataupun segala isinya. Manusia merupakan bagian dari alam. Keduanya merupakan subyek, bukan obyek. ”Makanya, orang Dayak kalau mau tebang pohon itu ada ritualnya, meminta dahulu. Kalau diizinkan, baru boleh ditebang. Itu pun tak bisa banyak-banyak,” kata Marko.
Suku Dayak memiliki konsep kesejahteraan yang sederhana, yakni saling berbagi. Ratusan tahun silam, orang Dayak hidup dalam satu rumah panjang. Satu berburu, hasilnya dibagi bersama. Satu panen, hasil panen dinikmati bersama. ”Bukan berapa banyak panen yang dihasilkan, melainkan seberapa besar kepedulian terhadap alam dan kerukunan yang diciptakan,” kata Marko.