Perjalanan dari Bandung menuju Jakarta dan sebaliknya pada akhir 1970-an hanya bisa lewat Cianjur-Puncak atau memutar lewat Purwakarta-Cikampek. Jalan Tol Jagorawi belum ada, sedangkan Jalan Tol Purbaleunyi (Purwakarta-Bandung-Cileunyi) juga belum dibangun.
Jalan Cianjur-Puncak menjadi favorit karena jaraknya lebih dekat dan pemandangannya sangat indah, terutama di sekitar perkebunan teh Puncak. Namun, kendalanya, pada ruas itu hanya tersedia jembatan sempit selebar tiga meter yang melintasi Sungai Citarum, sungai terbesar di Jawa Barat. Jembatan itu hanya bisa dilintasi satu kendaraan secara bergantian dari arah berlawanan.
Barulah pada 14 Agustus 1979 diresmikan Jembatan Rajamandala yang dibangun sejak 1973 dan berada sekitar 38 kilometer dari pusat Kota Bandung. Jembatan sepanjang 222 meter dan lebar 10 meter itu terbentang 90 meter di atas Sungai Citarum.
Jembatan itu juga dilengkapi jalan mulus sepanjang lima kilometer berstandar jalan tol. Karena itu, saat melintasi Jembatan Rajamandala, pengemudi yang melintas dikenai tarif tol. Pengenaan tarif itu antara lain untuk ”mengembalikan” biaya pembangunan jalan dan jembatan yang menghabiskan biaya Rp 1,72 miliar.
Bersamaan dengan peresmian Jembatan Rajamandala, diresmikan pula sisa Jalan Tol Jagorawi sepanjang 5,5 kilometer dari arah Bogor menuju Ciawi. Dengan demikian, Jalan Tol Jagorawi sepanjang 57,9 kilometer seluruhnya selesai dan bisa dilalui kendaraan.
Jalan Tol Jagorawi yang direncanakan sejak 1963, dan mulai dibangun 1974, menghabiskan biaya pembangunan sekitar Rp 27,6 miliar. Pembangunannya melibatkan tenaga ahli dari Amerika Serikat, Korea, dan Indonesia.
Jalan tol pertama di Indonesia itu memiliki 46 jembatan dan empat gerbang tol saat itu, yakni Cawang, Taman Mini, Bogor, dan Ciawi. Sejak Oktober 2003, pengenaan tarif tol di Jembatan Rajamandala dihentikan. Begitu juga di Jembatan Tol Mojokerto, kemudian Tol Suramadu pada 2018. (THY)