JAKARTA, KOMPAS – Sistem layanan kesehatan jiwa di masyarakat perlu dikembangkan secara lebih serius. Perlu ada gerakan dan komitmen bersama dari semua pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, organisasi profesi, serta masyarakat luas. Hal ini terutama terkait sistem layanan kesehatan jiwa pada anak dan remaja dari aspek promotif, preventif, dan kuratif.
Anggota Komisi IX DPR RI dari fraksi Demokrat, Nova Riyanti Yusuf menilai, pemerintah kurang berkomitmen dalam pemberian layanan kesehatan jiwa yang komprehensif bagi masyarakat. Lemahnya komitmen itu merujuk pada belum adanya regulasi turunan yang implikatif terkait pengadaan teknologi kesehatan jiwa.
“Setelah Undang-Undang Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa diterbitkan, pusat penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi serta produk teknologi dalam bidang kesehatan jiwa belum juga diadakan. Padahal, pusat penelitian ini berfungsi sebagai dasar untuk menghasilkan data dalam membuat keputusan yang tepat dalam penanganan gangguan jiwa di masyarakat,” katanya di sela-sela peluncuran dan bedah buku Jiwa Sehat, Negara Kuat: Masa Depan Layanan Kesehatan Jiwa di Indonesia di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Menurut dia, tanpa adanya data dan fakta yang tepat terkait kondisi kesehatan jiwa di masyarakat, kebijakan yang dihasilkan tidak bisa menyelesaikan akar masalah yang terjadi. Anggaran yang disiapkan pun tidak bisa optimal.
Setidaknya, Nova menambahkan, jika pusat penelitian bidang kesehatan jiwa sudah dibentuk sejak UU Kesehatan Jiwa diterbitkan, data terkait kesehatan jiwa anak dan remaja sudah bisa dihasilkan. Dengan begitu, data tersebut bisa langsung digunakan sebagai pedoman pemerintah dalam membenahi dan memperkuat sumber daya manusia di masa depan, terutama pada anak dan remaja yang berisiko mengalami gangguan jiwa.
Berdasarkan riset kesehatan dasar, prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun ke atas meningkat cukup signifikasi dari 6 persen pada 2013 menjadi 9,8 persen pada 2018. Sementara, proporsi rumah tangga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa psikosis atau skizofrenia meningkat dari 0,17 persen pada 2013 menjadi 0,67 pada 2018.
Selain itu, tantangan lain yang dihadapi dalam pelayanan kesehatan jiwa adalah kualitas dan kuantitas sumber daya kesehatan jiwa di Indonesia yang terbatas. Kondisi ini sebenarnya bisa diatasi melalui pelatihan dan pendidikan yang lebih masif kepada tenaga kesehatan, khususnya pada tenaga kesehatan yang berada di fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas.
Data bagian kesehatan jiwa Kementerian Kesehatan menunjukkan, proporsi psikolog klinis dan psikiater di Indonesia adalah 3 orang untuk setiap 100.000 populasi penduduk dengan gangguan. Sebagian besar tenaga kesahatan ini terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Selain itu, minat pada profesi kesehatan jiwa juga minim.
Pendiri Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bagus Utomo menuturkan, masih adanya stigma pada orang dengan gangguan jiwa juga menjadi kendala dalam penanganan kesehatan jiwa di Indonesia. Masih banyak masyarakat yang menganggap orang dengan gangguan jiwa harus dijauhi dan dipinggirkan. Padahal, melalui konsumsi obat rutin, gangguan jiwa bisa dikontrol.
“Disparitas juga masih ditemui dalam sistem pelayanan kesehatan jiwa di negara ini. Layanan kesehatan jiwa di daerah belum memadai, bahkan tidak ada tenaga ahli yang bisa menangani secara intensif. Ini bisa jadi bukti bahwa kesehatan jiwa belum jadi prioritas pemerintah,” ujarnya.
Tanpa adanya data dan fakta yang tepat terkait kondisi kesehatan jiwa di masyarakat, kebijakan yang dihasilkan tidak bisa menyelesaikan akar masalah yang terjadi
Psikolog Sosial dari Universitas Atma Jaya Jakarta, Nani Nurrachman menambahkan, penanganan kesehatan jiwa yang dijalankan sangat terkait dengan kepercayaan diri yang dimiliki oleh suatu bangsa. Kesehatan jiwa memiliki runtutan yang luas atas kondisi di masyarakat.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), kondisi kesehatan jiwa, termasuk depresi, skizofrenia, dan gangguan bipolar dapat berkontribusi besar terhadap beban penyakit tidak menular. Setidaknya, gangguan neuropsikiatrik telah berkontribusi hingga 10 persen dari total beban penyakit di Indonesia.