JAKARTA, KOMPAS – Meski memiliki potensi panas bumi terbesar kedua di dunia, Indonesia masih cenderung lambat mengembangkan energi panas bumi. Pencapaian saat ini masih tertinggal jauh untuk mencapai target pada 2025.
Pemanfaatan kapasitas energi panas bumi di Indonesia saat ini baru mencapai sekitar 2.000 Mega Watt (MW). Jumlah itu masih jauh dari target pemanfaatan panas bumi pada 2025 yang mencapai 7.241,5 MW.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengkritik pertumbuhan energi panas bumi yang cenderung lambat tersebut. Menurut dia, dengan pemanfaatan yang sudah mencapai 35 tahun, seharusnya kapasitas energi geothermal bisa lebih tinggi.
“Geothermal bukan hal yang baru. Sudah dari 35 tahun yang lalu. Kemajuannya lambat sekali baru 2.000 MW. Ini harus menjadi kajian Menteri ESDM dan PLN, mengapa terjadi kelambatan ini,” kata Kalla dalam 7th Indonesia International Geothermal Converence & Exhibition, Selasa (13/8/2019), di Gedung Jakarta Convention Center.
Tahun ini hanya terdapat tambahan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi sebesar 185 MW. Jumlah itu cenderung stagnan jika dibandingkan dengan penambahan kapasitas tahun lalu di dua PLTP sebesar 110 MW dan 30 MW.
Bukan hanya geothermal, Kalla juga menyoroti energi terbarukan lainnya yang keseluruhan baru menyumbang 8.000 MW. Energi yang dimaksud Wapres meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Angin dan Surya.
Menurut Kalla, energi pengganti sangat penting untuk perekonomian Indonesia. Sebab, listrik semakin dibutuhkan masyarakat seiring laju pertumbuhan ekonomi dan penduduk.
“Kalau kita punya energi pengganti yang bisa menjadi cadangan, pasti mati listrik seperti kemarin tidak akan terjadi,” pungkasnya.
Di sisi lain, pemanfaatan energi panas bumi merupakan komitmen pemerintah terhadap kelestarian lingkungan. Komitmen itu sebelumnya disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim 2015, di Paris, Perancis.
Pemanfaatan energi panas bumi merupakan komitmen pemerintah terhadap kelestarian lingkungan
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, FX Sutijastoto mengatakan kesenjangan perekonomian antar masyarakat membuat energi panas bumi sulit bertumbuh cepat di Indonesia. Berbeda misalnya dengan negara maju yang pendapatan per kapitanya tinggi.
“Cost-nya cukup tinggi untuk bisa masuk ke konsumen. Kita terlalu di-ninabobo-kan subsidi BBM, energi murah. Untuk itu kita perlu perubahan mindset dulu. Karena untuk mengubah subsidi nilai politisnya akan tinggi sekali,” ucap Toto.
Pemerintah akan menyiapkan insentif untuk harga energi panas bumi agar kompetitif. Insentif itu akan masuk ke dalam roadmap terkait energi terbarukan 2019-2030.
"Kami sedang cari jalan keluarnya untuk pembiayaan. Misalnya membangun infrastruktur biayanya direimburse pemerintah. Bisa jadi awalnya PLTP dibiayai developer tetapi akhirnya kembali ke pemerintah," pungkas Toto.
Adapun Kementerian ESDM menargetkan porsi energi baru terbarukan mencapai 23 persen pada 2025. Sampai dengan 2018, bauran energi baru menyentuh 12,4 persen.
Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia Prijandaru Effendi mengatakan, energi panas bumi menjadi solusi utama dalam cadangan listrik nasional. Energi panas bumi hanya butuh waktu sekitar dua jam untuk diaktifkan saat terjadi permasalahan seperti gangguan listrik pada 13 Agustus 2019.
"Kita harus bida mengoptimalkan energi panas bumi, setidaknya mencapai target 2025. Sebenarnya masalah utama yang menghambat memang perekonomian dan kemampuan PLN (Perusahaan Listrik Negara). Ini yang harus diselesaikan," sebut Effendi.