Sebanyak 15 titik api terpantau di enam kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Areal yang terbakar berupa sabana dengan luasan total sekitar 15 kilometer persegi atau 1.500 hektar.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika El Tari Kupang menemukan 15 titik api di enam kabupaten dari total 23 kabupaten/kota di Nusa Tenggara Timur. Areal yang terbakar berupa sabana dengan luasan total sekitar 15 kilometer persegi atau 1.500 hektar. Kebakaran yang terjadi rutin setiap tahun ini memerlukan antisipasi agar tak terus terulang.
Anggota staf Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika El Tari Kupang, Helny Mega Milla, di Kupang, Rabu (14/8/2019), mengatakan, sejak dua pekan terakhir, berdasarkan pantauan lewat satelit, ditemukan titik api di sejumlah daerah di NTT. Pekan pertama hanya ditemukan tujuh titik, yakni di Kabupaten Sumba Tengah, Sumba Timur, dan Kabupaten Sikka. Namun, sejak 1 Agustus sampai hari ini ditemukan 15 titik api yang tersebar di enam kabupaten.
Titik itu tersebar di Kecamatan Alor Timur, Kabupaten Alor (5 titik); Kecamatan Kota Atambua, Kabupaten Belu (1 titik); Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang (3 titik); Kecamatan Fatuleu Barat, Kabupaten Kupang (1 titik); Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah (1 titik); Kecamatan Lewa, Kabupaten Sumba Timur (2 titik); dan Kecamatan Insana, Kabupaten Timor Tengah Utara (2 titik).
Luas lahan terbakar di setiap titik sekitar 1 kilometer persegi sehingga total lahan yang terbakar lebih kurang 15 kilometer persegi atau 1.500 hektar. Meski demikian, Helny mengatakan, ada titik api yang tidak dapat terdeteksi satelit, termasuk luas areal yang terbakar, karena tertutup awan gelap.
Lahan yang terbakar sebagian besar merupakan sabana yang kering dan gersang. Namun, karena luasannya terbatas dan terisolasi, api tidak merambat jauh dan tidak bertahan lama. Hanya saja, titik panas terjadi secara sporadis dan selalu berpindah-pindah tempat selama Agustus ini.
Kebakaran tersebut tidak sampai menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan, penerbangan, atau aktivitas masyarakat. Tidak ada asap pekat seperti di Kalimantan atau Sumatera. Jika ada pun hanya berlangsung beberapa menit saja sebelum hilang ditiup angin kencang.
”Kasus kebakaran di NTT tidak menimbulkan kabut asap. Selain karena sabana di wilayah kebakaran tidak luas, juga karena kondisi angin sangat kencang sehingga asap segera hilang diterbangkan angin. Padang rumput kering itu memiliki ketinggian hanya sampai 1 meter dan berjarak renggang sehingga saat terbakar, lidah api tidak menjulang tinggi dan berlangsung dalam waktu singkat,” kata Helny.
Namun, kebakaran ini terkadang merambat sampai ke pusat destinasi wisata yang dibangun pemerintah, terutama destinasi wisata yang dikelilingi sabana. Kebakaran juga membunuh ternak warga dan merusak rantai ekosistem secara keseluruhan. Di tempat kebakaran sering pula terjadi longsor, kekeringan sumber-sumber mata air, serta menghilangnya sejumlah fauna dan flora.
Penyebab kebakaran diduga akibat pembukaan lahan pertanian baru, sengaja dibakar untuk menghasilkan rumput muda sebagai pakan ternak, kegiatan berburu, atau orang membuang puntung rokok di sisi jalan bersemak. Kebakaran setiap tahun selalu terjadi.
Direktur Yayasan Peduli Sesama NTT Isidorus Udak mengatakan, kebakaran di NTT telah menjadi bencana tahunan saat kemarau tiba. Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam bidang lingkungan hidup itu mencatat, setiap tahun rata-rata 50.000 hektar lahan terbakar.
Tidak ada yang peduli. Kalau ada perda (peraturan daerah) pun hanya sebatas kertas, implementasi kosong.
Lahan-lahan ini tersebar di 22 kabupaten. Hanya Kota Kupang yang tidak terjadi kebakaran karena tidak memiliki hutan.
Ia pun menyesalkan program penghijauan yang dilakukan selama ini seakan tidak memberikan dampak bagi masyarakat NTT. Bencana kekeringan dan kebakaran lahan juga terjadi di mana-mana. ”Tidak ada yang peduli. Kalau ada perda (peraturan daerah) pun hanya sebatas kertas, implementasi kosong,” kata Udak.
Masyarakat adat sebenarnya memiliki sejumlah kearifan lokal, tetapi juga tidak mampu membendung tindakan pembakaran lahan dan penebangan liar. Sampai hari ini, belum ada warga NTT yang diproses pihak kepolisian karena terlibat pembakaran lahan atau penebangan liar.
Hanya ada kasus penahanan kayu gelondongan atau kayu olahan yang masuk dari luar NTT ke Kupang. Padahal, di sejumlah titik di Kota Kupang, warga menjual kayu gelondongan dan kayu olahan. Kayu-kayu lokal ini diduga hasil pembalakan liar di sekitar Gunung Mutis, Gunung Timau, dan kawasan hutan lindung lain di NTT.