Aktivis Nyatakan Sikap Menolak Rancangan Undang-Undang
›
Aktivis Nyatakan Sikap Menolak...
Iklan
Aktivis Nyatakan Sikap Menolak Rancangan Undang-Undang
Sejumlah perwakilan aktivis masyarakat menyatakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan yang akan disahkan pada September 2019.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah perwakilan aktivis masyarakat menyatakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan yang akan disahkan pada September 2019. Mereka menilai RUU ini belum menjawab pokok permasalahan agraria di Tanah Air.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyebutkan, RUU Pertanahan dinilai belum menjawab lima pokok krisis agraria. Kelima poin itu meliputi soal ketimpangan struktur agraria, maraknya konflik agraria struktural, meluasnya kerusakan ekologis, laju cepat alih lahan fungsi tanah pertanian ke non-pertanian, serta kemiskinan akibat struktur agraria yang menindas.
”Kami dari KPA bersama perwakilan aktivis masyarakat, gerakan tani, masyarakat adat, nelayan, akademisi, dan pakar agraria menyimpulkan, RUU Pertanahan tidak memenuhi syarat secara ideologis, sosiologis, yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 serta UU Pokok Agraria 1960,” kata Dewi melalui keterangan tertulis, di Jakarta, Selasa (13/8/2019).
Menurut dia, ada kontradiksi antara RUU Pertanahan dan semangat Reformasi Agraria yang beberapa tahun ini disampaikan Presiden Joko Widodo. Pertama, Reformasi Agraria dalam RUUP ini dikerdilkan menjadi sekadar program penataan aset dan akses.
Dari poin tersebut, RUU Pertanahan dinilai tidak memuat prinsip, tujuan, mekanisme, lembaga pelaksana, pendanaan untuk menjamin Reformasi Agraria yang sejati. Makna sejati yang dimaksud adalah kehadiran negara untuk menata ulang struktur agraria Indonesia, yang timpang secara sistematis, belum terstruktur, dan tidak memiliki kerangka waktu yang jelas.
Kedua, semangat Reformasi Agraria di RUUP tidak tecermin dalam bab bahasan hak pengelolaan (HPL), hak guna usaha (HGU), pendaftaran tanah, pengadaan tanah, bank tanah, serta sejumlah bab bahasan lainnya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nur Hidayati mengatakan, RUU Pertanahan saat ini juga bermasalah dari sisi pengaturan HGU. Sebab, dalam rancangan disebutkan bahwa HGU ini sangat berpihak pada pemodal skala besar.
”RUU Pertanahan memberikan kebebasan bagi pemodal, misalkan, tidak adanya keharusan menyampaikan keterbukaan informasi HGU sebagaimana amanat UU tentang Keterbukaan Informasi Publik. Saya khawatir ini menjadi upaya untuk menyamarkan adanya HGU yang ilegal,” kata Nur.
Bank tanah
Dewi menuturkan, adanya rencana pembentukan Bank Tanah dalam RUU Pertanahan juga berisiko memperparah ketimpangan serta konflik terkait pengadaan tanah. Dengan kata lain, hal ini akan melancarkan proses perampasan tanah atas nama pengadaan tanah, serta meneruskan praktik spekulan tanah.
”Keinginan RUU Pertanahan yang bermaksud membentuk bank tanah tampaknya hanya menjawab keluhan investor soal hambatan pengadaan dan pembebasan tanah,” kata Dewi.
Bank tanah yang akan dibentuk pemerintah adalah lembaga profit yang sumber pendanaannya tidak hanya dari APBN, tetapi juga berasal dari penyertaan modal, kerja sama pihak ketiga, pinjaman, dan sumber lainnya. Karena sumber pendanaan ini, dikhawatirkan bank tanah lebih berpihak kepada para pemodal.
Nur menyatakan, dirinya bersama puluhan aktivis lain meminta agar kualitas RUU Pertanahan perlu dipertimbangkan dengan melihat situasi agraria saat ini. ”Jangan sampai hal ini terlalu berpihak pada private sector dan investasi semata,” ujarnya.