Program Kuliah Kerja Nyata, disingkat KKN, dulunya dicanangkan untuk membantu pembangunan di desa-desa. Nggak heran kalau mahasiswa sering diperbantukan membangun gapura ataupun pengaspalan jalan, misalnya. Sekarang, ketika desa semakin maju, apa lagi yang bisa dilakukan?
Amalia Khairani Ariyantoputri (21) sedang menjalani KKN di sebuah daerah di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Bersama kawan-kawannya, mahasiswi Jurusan Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, ini menjalani program posdaya itu selama 35 hari.
Selama tinggal bersama masyarakat setempat, Amalia menilai program pemberdayaan masyarakat itu tidak terlalu berpengaruh kepada masyarakat. ”Masyarakat di desa KKN saya ini sudah terbilang maju, salah satu alasannya karena dekat dengan kota Purwokerto,” ujarnya.
Meskipun begitu, pengalaman itu tidak mau ia sia-siakan begitu saja. Kelompoknya mengamati bahwa warga sekitar masih sering membakar sampah, bukannya didaur ulang. Oleh karena itu, mereka kerap memberikan penyuluhan tentang darurat sampah plastik dan bagaimana mengatasinya.
Sampah plastik ada di mana-mana, tak terkecuali di desa-desa. Oleh karena itu, program itu dirasa relevan dengan masalah itu.
Rizka Hidayati Sulaeman (21) adalah mahasiswi yang berkuliah di kota besar. Mahasiswi Jurusan Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Budi Luhur, Jakarta, ini sedang menjalani KKN di Desa Padamukti, Kabupaten Bandung, selama 30 hari.
Desa itu sudah terpapar internet. Dengan bekal ilmu yang dibawa dari bangku kuliah, Rizka dan kawan-kawan memberikan pengenalan bagaimana berbisnis melalui media sosial. Mereka beranggapan teknologi internet, yang sudah merambah ke berbagai pelosok, itu bisa memudahkan masyarakat melakukan apa pun, termasuk memulai bisnis.
Rizka dan kelompoknya tidak cuma menularkan ilmu, tetapi tidak juga membuat program monumental seperti membangun gapura ataupun penunjuk jalan. ”Di sini kami melanjutkan renovasi pos bacaan dari kelompok periode sebelumnya. Jadi hanya penambahan rak buku, mengecat ulang, dan menambah koleksi buku karena memang masih sangat kurang,” kata Rizka.
Nisrina Alifah (21) dan kelompok KKN-nya juga memanfaatkan sambungan internet ke desa-desa. Mahasiswi semester 7 Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini membuat program website Desa Gaga, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, tempatnya mengabdi selama sekitar sebulan ini. Mereka membuatkan serta mengisikan profil dan kelengkapan desa ke dalam situs internet.
Relevan
Selain itu, Nisrina dan kawan-kawan juga memberikan penyuluhan berbagai macam penyakit dan ikut bekerja bakti membersihkan lingkungan desa selama sebulan. Dia mengaku menikmati betul pengalaman KKN, terutama kegiatan penyuluhan. Lewat kegiatan itu, dia bisa berkenalan dan berinteraksi dengan guru dan murid.
”Mahasiswa sekarang, kan, cenderung cuek terhadap sekitarnya dan kadang tak ingin bersosialisasi di dalam masyarakat. Jadi, menurut saya, program KKN ini masih sangat relevan,” ujar Nisrina.
Anggapan bahwa kegiatan KKN masih penting di era modern sekarang ini juga diungkapkan mayoritas responden jajak pendapat Litbang Kompas. Jajak pendapat itu dilakukan pada 21-22 Juni 2019 dengan responden 646 mahasiswa berusia minimal 17 tahun di 30 kota di Indonesia.
Sebanyak 80,7 persen responden menganggap KKN masih relevan hingga hari ini. Para responden juga mengungkapkan kegiatan apa yang cocok dijalankan saat ini. Sebagian besar berpendapat kegiatan yang tepat adalah kegiatan yang bersifat pemberdayaan dan pembelajaran. Hanya sedikit responden (6 persen) yang menyatakan program pembangunan infrastruktur masih diperlukan.
Di masa silam pembangunan infrastruktur seperti menjadi primadona bagi mahasiswa yang hendak mengikuti KKN. Tidak jarang mahasiswa diminta membantu masyarakat mengaspal jalan, membangun gapura, membuat tanda penunjuk jalan, ataupun memasang penerangan jalan. Urusan pendanaan juga sering kali ”dibebankan” kepada mahasiswa.
Dulunya KKN dirancang pemerintah untuk mendorong pembangunan desa agar tidak terlalu timpang dengan fasilitas yang ada di kota. Presiden Soeharto mencanangkan program ini pada Februari 1972. Selain untuk membantu pembanguan desa, program ini dimaksudkan memberikan pengalaman kepada mahasiswa tentang pembangunan daerah.
Pengerahan mahasiswa ke masyarakat sebenarnya bukan gagasan pemerintah Orde Baru semata. Antara 1951 dan 1962, sebanyak 1.500 mahasiswa dikerahkan menjadi guru di sekolah-sekolah luar Jawa. Pada 1963, program Bimbingan Massal (Bimas) juga menyertakan mahasiswa di bidang pertanian (Kompas, 21 Januari 1974).
Kini, ketimpangan antardesa dan kota memudar. Jaringan internet telah mengaburkan sekat-sekat wilayah. Perbaikan sarana dan prasarana makin merata dengan adanya program Dana Desa. Makanya, kerja KKN yang awalnya lekat dengan membuat gapura mulai jarang terjadi.
Pembanguan fisik boleh saja ditinggalkan. Ini memberikan tantangan tersendiri bagi perancangan kegiatan KKN bagi mahasiswa masa kini. Pemanfaatan media sosial yang tepat bagi masyarakat desa, misalnya, bisa terus dikabarkan. Selain itu, terjun langsung di masyarakat desa memberikan pengalaman seru bagi mahasiswa, terutama yang terbiasa hidup di kota.
Georgiana Sekarsari Suharno (21) dari Jurusan Psikologi Universitas Diponegoro, Semarang, Jateng, menjalani KKN selama 42 hari di Desa Bumen, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang. ”Saya jadi punya sudut pandang yang lebih luas, belajar untuk lebih menghargai orang lain, dan belajar menjadi lebih rendah hati,” katanya. (Arita Nugraheni/Litbang Kompas/*/**)