Eksistensi bahasa daerah sebagai bahasa ibu kian memudar. Sejumlah bahasa daerah dinyatakan telah punah, sementara puluhan bahasa daerah lainnya masuk pada kategori terancam punah.
Oleh
DEDY AFRIANTO
·5 menit baca
Eksistensi bahasa daerah sebagai bahasa ibu kian memudar. Sejumlah bahasa daerah dinyatakan telah punah, sementara puluhan bahasa daerah lainnya masuk pada kategori terancam punah. Perkawinan antaretnis hingga mobilisasi penduduk turut menjadi faktor pendorong dari menurunnya penutur bahasa daerah.
Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), hingga tahun 2018 terdapat 11 bahasa daerah yang telah punah. Bahasa daerah ini seluruhnya berasal dari kawasan Indonesia bagian timur, seperti Maluku dan Papua.
Dari 11 bahasa daerah yang telah punah, delapan merupakan bahasa yang berasal dari daerah Maluku. Beberapa bahasa daerah pada wilayah ini yang dinyatakan telah punah adalah bahasa Nila, Serua, dan bahasa Hoti. Bahasa tersebut dinyatakan punah karena tak lagi memiliki penutur dalam percakapan sehari-hari.
Dari 11 bahasa daerah yang telah punah, delapan merupakan bahasa yang berasal dari daerah Maluku.
Kondisi ini berbanding terbalik jika dibandingkan dengan penggunaan bahasa daerah di Maluku pada 2010. Pasalnya, berdasarkan Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, Maluku adalah provinsi dengan persentase penutur bahasa daerah terbesar di Indonesia.
Sebesar 99,3 persen masyarakat di Maluku yang berusia di atas lima tahun saat itu menggunakan bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari. Kini, Maluku menjadi provinsi dengan angka kepunahan bahasa daerah terbesar di Indonesia.
Jumlah bahasa daerah yang punah bisa saja bertambah jika tak digunakan dalam percakapan sehari-hari. Apalagi, terdapat puluhan bahasa daerah di Indonesia yang kini masuk kategori terancam punah dari Pulau Sumatera hingga Papua.
Kemdikbud mencatat, ada empat bahasa daerah yang masuk kategori kritis, yaitu bahasa Reta (Nusa Tenggara Timur), Saponi (Papua), Ibo (Maluku), dan Meher (Maluku). Pada kategori ini, penutur bahasa telah berusia di atas 40 tahun dengan jumlah yang sedikit.
Kategori selanjutnya adalah bahasa yang terancam punah. Penutur bahasa daerah pada kategori ini telah berusia di atas 20 tahun dengan jumlah yang sedikit. Sementara generasi tua tak lagi menggunakannya untuk berbicara di antara sesama mereka atau kepada anak keturunan.
Hingga tahun 2018, terdapat 22 bahasa daerah yang masuk kategori terancam punah. Bahasa daerah yang masuk kategori ini masih didominasi bahasa yang berasal dari Indonesia bagian timur, seperti Papua dan Maluku. Dari 22 bahasa daerah yang terancam punah, 55 persen merupakan bahasa yang berasal dari dua provinsi tersebut.
Selain Indonesia bagian timur, terdapat bahasa daerah di Indonesia bagian barat yang terancam punah, seperti bahasa Bajau Tungkal Satu di Jambi dan bahasa Lematang di Sumatera Selatan. Hal ini menunjukkan kepunahan bahasa daerah tak hanya mengancam Indonesia bagian timur, tetapi juga sebagian wilayah di Indonesia bagian barat.
Kategori berikutnya adalah bahasa yang mengalami kemunduran. Pada kategori ini, bahasa hanya digunakan sebagian anak-anak dan generasi tua. Bahasa yang masuk pada kategori ini adalah bahasa Hitu di Maluku dan bahasa Tobati di Papua.
Berikutnya, terdapat bahasa yang masuk kategori stabil, tetapi mulai menuju ambang kepunahan. Pada kategori ini, semua anak-anak dan generasi tua menggunakan bahasa daerah, tetapi hanya memiliki jumlah penutur yang sedikit.
Dari 16 bahasa daerah yang masuk pada kategori ini, 15 bahasa berasal dari kawasan timur Indonesia, seperti Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Sementara satu bahasa lainnya adalah bahasa Kerinci dari Provinsi Jambi.
Minim penutur
Ancaman kepunahan bahasa daerah tak terlepas dari minimnya penutur jati (native speaker). Semakin sedikit penutur bahasa, akan semakin besar ancaman kepunahan bahasa tersebut. Hal inilah yang terjadi di kawasan timur Indonesia.
Jika melihat jumlah penutur pada 2015, penutur bahasa di kawasan timur Indonesia tergolong minim. Bahasa di daerah Maluku, misalnya, dari total 65 bahasa daerah, terdapat 1,6 juta penutur. Jika dirata-ratakan, setiap bahasa daerah hanya memiliki 24.865 penutur dari lintas generasi.
Hal senada dialami oleh Papua. Penutur bahasa daerah di Papua hanya mencapai 1,6 juta orang pada 2015. Jika dirata-ratakan secara proporsional dengan 347 bahasa daerah yang ada di Papua saat itu, setiap bahasa hanya memiliki 4.736 penutur.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan bahasa daerah di kawasan Indonesia bagian barat yang memiliki cukup banyak penutur. Bahasa Jawa, misalnya, jumlah penutur bahasa ini pada 2015 mencapai 68 juta jiwa. Jumlah ini setara dengan 31,79 persen dari seluruh penutur bahasa di Indonesia.
Hal senada dialami bahasa Melayu. Pada 2015, bahasa ini memiliki 7,9 juta penutur. Jumlah ini belum termasuk bahasa Melayu perdagangan dan Melayu tengah yang memiliki sekitar 3,6 juta penutur. Hingga kini, bahasa Melayu juga masuk kategori aman dari ancaman kepunahan.
Bahasa Jawa, misalnya, jumlah penutur bahasa ini pada 2015 mencapai 68 juta jiwa.
Menurut analisis dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud, terdapat beberapa penyebab semakin sedikitnya penutur bahasa daerah pada sejumlah wilayah. Salah satunya adalah perkawinan antaretnis.
Dalam perkawinan antaretnis, bahasa Indonesia sering kali kemudian dipilih sebagai bahasa sehari-hari yang digunakan di dalam keluarga. Hal ini berdampak dua hal, yaitu hilangnya penutur bahasa daerah dan tak adanya regenerasi pengguna bahasa daerah kepada keturunan.
Selain itu, tidak digunakannya bahasa daerah oleh kedua orangtua kepada anak juga turut mendorong semakin sedikitnya penutur bahasa daerah. Hal ini tidak terlepas dari mobilisasi penduduk ke perkotaan. Saat menjalani kehidupan di perkotaan, bahasa daerah asal kerap tidak digunakan oleh orangtua kepada anak.
Kondisi ini memberikan dampak sosial kepada anak keturunan dari para perantau. Sang anak akhirnya tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa daerah. Akibatnya, regenerasi penggunaan bahasa daerah terputus.
Jika melihat data Sensus Penduduk 2010, kondisi ini terjadi di kota besar seperti Jakarta. Sebab, hanya 8,2 persen penduduk di Jakarta yang menggunakan bahasa daerah. Sementara 91 persen penduduk di Jakarta memilih untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari.
Di balik kondisi ini, masih adakah asa bagi Indonesia untuk mewariskan bahasa daerah kepada generasi yang akan datang? Bersambung (LITBANG KOMPAS)