Kelemahan di UU Pilkada salah satunya terkait pengawas pemilu. Pengawas pemilu yang diatur di UU Pilkada berbeda dengan yang diatur di UU Pemilu. Tidak hanya dalam hal tata cara pembentukannya, tetapi juga kewenangan pengawas pemilu.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pihak terus mendorong agar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada segera direvisi. Lemahnya aturan di undang-undang tersebut dapat menciptakan kekacauan dan ketidakpastian hukum penyelenggaraan pilkada.
Menjelang pilkada serentak 2020, sejumlah pihak, baik penyelenggara pemilu maupun masyarakat sipil, terus mendorong pemerintah dan DPR agar merevisi UU Pilkada. Dari pandangan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), revisi penting dilakukan karena terdapat sejumlah ketentuan di UU Pilkada yang tidak sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal ini terutama terkait pengawas pemilu.
Perbedaan itu antara lain pada UU Pilkada, pengawas penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Panitia Pengawas yang dibentuk oleh Bawaslu provinsi (Pasal 1 Angka 17).
Sementara di UU Pemilu disebutkan, badan untuk mengawasi penyelenggaraan pemilihan di wilayah kabupaten/kota adalah Bawaslu kabupaten/kota. Bawaslu memiliki kewenangan mengadili dan memutus sengketa administrasi pemilihan, sedangkan Panwaslu dalam UU Pilkada hanya memiliki kewenangan memberikan rekomendasi.
Revisi penting dilakukan karena terdapat sejumlah ketentuan di UU Pilkada yang tidak sesuai dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal ini terutama terkait pengawas pemilu.
Perbedaan ketentuan ini, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, memang dapat menimbulkan permasalahan di lapangan. Sebab, UU Pemilu yang mengatur tugas dan wewenang Bawaslu di tingkat kabupaten/kota hanya terbatas untuk penyelenggaraan pemilu legislatif dan presiden.
”Pilkada yang penuh tarik-menarik kepentingan lokal akan sangat berbahaya jika kerangka hukum dasarnya lemah. Hal ini dapat memicu munculnya kekacauan dan ketidakpastian hukum penyelenggaraan pilkada,” ujarnya di Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Oleh karena itu, Titi menegaskan, baik pemerintah maupun DPR harus berkomitmen untuk menuntaskan revisi tersebut. Komitmen dapat ditunjukkan pemerintah dengan cara menyiapkan rancangan revisinya dan dilanjutkan dengan pembahasan oleh DPR.
”Semua pihak, terutama partai politik, perlu memastikan agar revisi UU Pilkada ini bisa dituntaskan sesuai tenggat yang ada. Ini juga seharusnya bisa jadi momentum bagi pemerintah untuk membuktikan komitmennya pada konsolidasi demokrasi Indonesia yang selama ini dinilai tidak terlalu muncul dalam visi (Presiden) Jokowi,” lanjutnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR Nihayatul Wafiroh menyebutkan, ruang waktu untuk revisi masih panjang dengan mempertimbangkan tahapan pendaftaran calon kepala daerah-wakil kepala daerah baru dilakukan pada April 2020. Karena itu, revisi UU Pilkada dinilainya masih bisa dilakukan sebelum tahapan pendaftaran.
Kementerian Dalam Negeri juga memandang pentingnya revisi UU Pilkada. Saat ini, Kementerian Dalam Negeri masih memetakan pasal-pasal yang akan direvisi.
Titi mengatakan, revisi tidak perlu harus menunggu pergantian periode DPR yang baru. Sebab, pasal yang akan direvisi tidak banyak sehingga tidak sulit dan tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menuntaskannya.
”Revisi bisa dimulai sekarang dan kemudian nanti dituntaskan oleh legislator terpilih hasil Pemilu 2019. Seharusnya akhir tahun 2019 revisi UU Pilkada sudah bisa dituntaskan sehingga kepastian soal kelembagaan Bawaslu ini sudah bisa ditetapkan,” ujarnya.
Uji materi
Di samping revisi, uji materi (judicial review) atas UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) juga dapat dilakukan sebagai alternatif penyelesaian perbedaan kerangka hukum ini. Selasa (13/8/2019), tiga pegawai Bawaslu daerah telah mengajukan uji materi atas UU Pilkada ke MK.
Adapun pasal yang dimohonkan adalah Pasal 1 Ayat 17, Pasal 23 Ayat 1 dan Ayat 3, serta Pasal 24 UU Pilkada terkait dengan kelembagaan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) kabupaten/kota. Dalam permohonannya, pemohon meminta MK untuk menyatakan sifat atau wewenang Panwaslu dan Bawaslu di UU Pilkada ataupun UU Pemilu sama atau konstitusional bersyarat.
Titi menilai, peluang untuk memastikan kejelasan kerangka hukum melalui uji materi ke MK memang cukup besar. Namun, dia menilai, putusan MK kelak tidak bisa terlalu teknis menyangkut kewenangan yang berkaitan dengan pengawasan pilkada. Jangka waktu yang dibutuhkan MK untuk memutus perkara juga tidak dapat dipastikan.
”Dari sisi waktu, akan sulit memastikan putusan MK bisa sesuai dengan jangka waktu tahapan penyelenggaraan pilkada. Namun, seharusnya uji materi ini adalah opsi terakhir jika memang revisi UU Pilkada sama sekali tidak dimungkinkan,” ucapnya.
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengapresiasi langkah pegawai Bawaslu daerah tersebut. Putusan MK pun diharapkan bisa menyelesaikan persoalan pengawas pemilu di daerah yang berbeda antara UU Pemilu dan UU Pilkada.
Terkait langkah penyelesaian dari Bawaslu pusat, kata Fritz, saat ini pihaknya tengah menyiapkan draf revisi UU Pilkada mengenai kewenangan Bawaslu. Hal ini agar kewenangan tersebut konsisten dengan perkembangan hukum yang baru, yakni UU Pemilu. Draf tersebut menurut rencana akan dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah pada September mendatang.