Tanggal 25-29 Juli 1969 di Taman Ismail Marzuki diadakan Pekan Wayang Nasional yang diprakarsai Dewan Kesenian Jakarta Raya, Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Kementerian Penerangan, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Acara ini sebagai upaya untuk menghidupkan kembali seni teater tradisional.
Namun, bagaimana dengan masa depan wayang kulit seperti wayang beber, wayang tengul, wayang krucil, wayang klitik, wayang kancil, dan wayang golek? Apakah hanya tinggal hidup di museum? Tidak hanya melestarikan bendanya, tetapi pewarisan keahlian seorang dalang juga perlu diperhatikan. Inventarisasi yang tidak diikuti dengan upaya nyata hanya akan berhenti pada inventarisasi di museum.
Di akhir acara Pekan Wayang Indonesia II tahun 1974, Gubernur DKI Ali Sadikin menawarkan tempat dan modal untuk mendirikan Pusat Pewayangan Indonesia. Tempat ini akan menjadi arena pameran, museum, dan kegiatan ilmiah khusus tentang wayang dari seluruh Indonesia, bahkan kalau bisa Asia Tenggara.
Dalam pertemuannya dengan Ketua Yayasan Nawangi (Pembinaan Pewayangan Indonesia) Boediardjo, Rabu (22/5/1974), Presiden Soeharto di Bina Graha mengatakan bahwa mutu pewayangan Indonesia harus ditingkatkan. Pewayangan tidak hanya bersifat komersial, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan bagi masyarakat.
Tidak menunggu lama, Selasa (25/6/1974) pagi, Bang Ali menyerahkan kunci gedung bekas Museum Jakarta kepada Boediardjo selaku Ketua Yayasan Nawangi untuk digunakan sebagai museum dan pusat kegiatan pewayangan seluruh Indonesia. Dalam sambutannya, Bang Ali meminta agar kegiatan pewayangan dapat menunjang cita-cita Pemda DKI Jakarta untuk menjadikan Jakarta sebagai kota pusat kebudayaan Indonesia.
Peresmiannya baru dilakukan setahun kemudian. Peresmian ditandai dengan menggelar wayang golek ruwatan dengan lakon ”Murwakala” oleh dalang Elang di Taman Fatahillah, Jakarta.
Pada Mei 1974, Bang Ali menginstruksikan agar kunjungan ke museum dan gedung bersejarah masuk dalam kurikulum lokal SD dan SMP. Kebijakan ini dimulai pada tahun ajaran 1975. Menanamkan cinta tanah air perlu usaha nyata, tidak sekadar untaian kata. (JPE)