Meski masih berfokus pada konsolidasi dan integrasi bisnis pasca-penggabungan usaha, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk mencatat pertumbuhan positif. Selain memperluas produk yang sudah ada, pembiayaan korporasi juga menjadi segmen yang akan dikembangkan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski masih berfokus pada konsolidasi dan integrasi bisnis pasca-penggabungan usaha, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk mencatat pertumbuhan positif. Selain memperluas produk yang sudah ada, pembiayaan korporasi juga menjadi segmen yang akan dikembangkan.
Total penyaluran kredit mencapai Rp 143,4 triliun pada akhir Juni 2019 atau tumbuh 112 persen dibandingkan dengan posisi yang sama tahun lalu senilai Rp 67,7 triliun. Jumlah tersebut merupakan data gabungan dari PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) dan Bank BTPN sejak efektif merger pada 1 Februari 2019. Meski demikian, jika dihitung secara normal, penyaluran kredit tumbuh 10 persen.
”Dalam enam bulan pertama setelah merger, fokus kami adalah menjaga kelancaran operasi. Kami memastikan bisnis-bisnis yang sebelumnya dimiliki masing-masing bank tetap tumbuh secara baik,” kata Direktur Utama Bank BTPN Ongki Wanadjati Dana dalam paparan kinerja semester I-2019 PT Bank BTPN Tbk, Rabu (14/8/2019), di Jakarta.
Pertumbuhan kredit semester I-2019 ditopang pembiayaan korporasi, usaha kecil dan menengah (UKM), pembiayaan konsumer, serta pembiayaan prasejahtera produktif melalui anak usaha BTPN Syariah. Hal itu sejalan dengan kemampuan SMBCI yang biasa menangani pembiayaan korporasi sementara Bank BTPN di UKM.
Sementara itu, angka rasio kredit bermasalah (NPL) ada di level 0,8 persen (gross) dengan rasio kecukupan modal (CAR) di level 23,3 persen. Bank BTPN mencatat kenaikan aset sebesar 87 persen, dari Rp 99,9 triliun pada Juni 2018 menjadi Rp 187,05 triliun pada Juni 2019. Adapun laba bersih konsolidasi setelah pajak yang dapat diatribusikan kepada pemilik sebesar Rp 1,26 triliun atau meningkat 15 persen dari posisi tahun lalu Rp 1,09 triliun.
Menurut Ongki, penggabungan tersebut memperluas kemungkinan pembiayaan ke berbagai sektor. Selain tetap mengembangkan bisnis yang sudah ada, Bank BTPN akan mengembangkan segmen korporasi, seperti dalam pembiayaan sindikasi, pembiayaan proyek di bidang infrastruktur dan energi, pembiayaan perdagangan, serta berkolaborasi dengan lembaga pembiayaan untuk pembiayaan otomotif.
”Dalam bisnis perbankan yang penting adalah prinsip kehati-hatian dan kejelian dalam melihat segmen yang masih prospektif dan yang mulai jenuh. Demikian di pembiayaan korporasi fokus di proyek pemerintah karena anggaran pasti diarahkan ke sana,” ujar Ongki.
Sampai saat ini, porsi pembiayaan untuk proyek infrastruktur Bank BTPN berjalan seimbang, baik di sektor energi, industri, maupun transportasi. Peluang untuk menyalurkan kredit masih terbuka karena proyek besar seperti MRT, kereta ringan, dan jalan tol masih akan dibangun di masa mendatang.
Untuk pasar yang bersifat massal, lanjut Ongki, kejelian diperlukan guna melihat dinamika yang berkembang. Oleh karena itu, perlu dibuat produk-produk baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar, misalnya kredit mikro untuk UKM dan ibu-ibu prasejahtera yang disasar melalui perbankan syariah.
Agar menjangkau pasar lebih luas dengan biaya yang efisien, digitalisasi mesti terus dilakukan. Dengan demikian, layanan perbankan tetap berjalan meski tanpa kantor cabang. Hingga akhir Juni 2019, total pengguna Jenius mencapai 1,6 juta nasabah, tumbuh 130 persen dari posisi Juni 2018 sebanyak 704.000 nasabah.
Value Proposition and Product Head, Deputy Head of Digital Banking Bank BTPN Irwan Sutjipto Tisnabudi menambahkan, Bank BTPN telah membuat proyek awal untuk memberikan pinjaman bagi nasabah Jenius yang terseleksi. Pembiayaan tersebut bukan untuk konsumtif, melainkan sebagai dana siaga.