Pendekatan militer hingga ekonomi dianggap belum cukup untuk menyelesaikan konflik di Papua. Oleh karena itu, pemerintah perlu melibatkan langsung sejumlah kelompok yang selama ini memiliki agenda tersendiri untuk menentukan kesepakatan bersama agar persoalan di Bumi Cenderawasih bisa dituntaskan.
Oleh
Muhammad Ikhsan Mahar
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan militer hingga ekonomi dianggap belum cukup untuk menyelesaikan konflik di Papua. Oleh karena itu, pemerintah perlu melibatkan langsung sejumlah kelompok yang selama ini memiliki agenda tersendiri untuk menentukan kesepakatan bersama agar persoalan di Bumi Cenderawasih bisa dituntaskan.
Menurut Direktur Imparsial Al Araf, terdapat empat akar utama dalam konflik di Papua, yaitu historis, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu yang belum tuntas, persoalan ekonomi yang hanya menyentuh tataran elite, dan marginalisasi masyarakat Papua sebagai bagian bangsa Indonesia. Ia menuturkan, pendekatan militer dan ekonomi yang telah dilakukan pemerintah selama ini tidak cukup untuk meredam kekerasan yang terjadi di Papua karena dua pendekatan itu sifatnya top-down berdasarkan penilaian sepihak pemerintah.
Terdapat empat akar utama dalam konflik di Papua, yaitu historis, kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu yang belum tuntas, persoalan ekonomi yang hanya menyentuh tataran elite, dan marginalisasi masyarakat Papua sebagai bagian bangsa Indonesia.
Akibatnya, dua pendekatan itu tidak mampu meredam kekerasan dan konflik di Papua, seperti penyerangan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) kepada pekerja proyek Trans-Papua dan, yang terbaru, pembunuhan terhadap personel kepolisian Brigadir Satu Heidar. Pendekatan militer yang telah dilakukan sejak Orde Baru, lanjutnya, justru melahirkan peristiwa pelanggaran HAM baru. Lalu, pendekatan ekonomi yang dilakukan pascareformasi juga belum mampu menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat Papua.
Untuk itu, Araf menilai, kelompok-kelompok yang masih berseberangan dengan pemerintah perlu dirangkul untuk merumuskan solusi pendekatan yang memang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
”Pemerintah dan kelompok yang berkonflik harus duduk bersama untuk merumuskan kesepakatan penyelesaian konflik baru yang sesuai dalam bingkai keindonesiaan. Kita telah memiliki pengalaman penyelesaian konflik secara damai, seperti Aceh, Poso (Sulawesi Tengah), dan Ambon (Maluku), yang bisa menjadi model pendekatan,” tutur Araf di Jakarta, Rabu (14/8/2019).
Araf menambahkan, komunikasi dengan kelompok separatis cenderung tidak sulit karena pemerintah pasti sudah mengindentifikasi kelompok itu. Atas dasar itu, kemauan pemerintah dibutuhkan guna membuka dialog dengan kelompok yang berkonflik untuk membicarakan tuntutan mereka, lalu mencari kesepakatan bersama yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Papua.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, TNI-Polri akan melakukan evaluasi terkait operasi pengejaran KKB pasca-tewasnya Heidar. Langkah itu dilakukan untuk meminimalkan titik lemah operasi tersebut yang berpotensi dimanfaatkan KKB untuk mengintimidasi masyarakat dan menyerang aparat keamanan.
”Tetapi, tidak akan ada penambahan pasukan di Papua. Jumlah personel sudah mencukupi untuk memberikan jaminan keamanan dan ketertiban masyarakat di sana,” katanya.